Sesudah tiga tahun berada di Indonesia, saya kenal semua buah-buahan dan pohonnya, kecuali pohon salak. Buahnya sering saya makan, tetapi pohonnya selalu luput dari pandangan saya.
Pada waktu itu saya hampir tiap minggu naik sepeda dari Yogya ke Medari. Seorang teman berkata, "Lihat saja, di kiri-kanan jalan banyak sekali pohon salak." Usaha saya bertambah, tetapi sia-sia. Semua buah lain saya lihat, salak tidak.
Sampai pada suatu hari, seorang teman kebetulan menunjuk buah salak di pohon. Saya lega karena akhirnya berhasil melihat pohon salak. Tetapi saya jengkel kepada diri saya sendiri. Saya begitu terikat pada istilah "pohon," sehingga pandangan saya selalu diarahkan ke atas, sampai tidak melihat yang di bawah.
Ini contoh bagus untuk menerangkan perbedaan antara pengalaman dan istilah. Hampir setiap anak kecil di Indonesia melihat dan mengenal pohon dan buah salak, setelah itu baru mendengar namanya. Sebaliknya, saya yang tidak pernah mengalami pohon salak, mulai dengan mendengar istilah "pohon" salak, lalu mencari realitas yang sesuai dengan istilah itu.
Bagi saya, "pohon" adalah sesuatu yang tinggi, maka saya mencari di atas. Andaikan istilahnya "semak" salak, pasti saya mencari di bawah.
Kalau harus memilih antara kenyataan konkret atau istilah abstrak, tentu selalu untung memilih yang konkret.
(Dari: Buku Hidup itu Kadang Lucu - Hikmat 100 Kisah Jenaka, karya Siegfried Zahnweh, S.J. Penerbit Dioma, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar