Aku punya seorang teman lama yang kukenal sejak kami sama-sama di taman kanak-kanak. Setelah bertahun-tahun, persahabatan kami berkembang dan sangat berpengaruh dalam hidupku. Ia menjadi seperti anggota keluargaku.
Persahabatan kami berlangsung lebih dari 38 tahun. Lalu, tiba-tiba ia tak peduli padaku. Kami menjadi seperti orang asing. Ia tak punya waktu lagi untukku. Jika aku meneleponnya, ia menjawab terburu-buru dan pendek saja. Ia tak mau lagi berlibur atau makan malam bersama.
Aku merasa tak berdaya dan tak mengerti. Bagaimana aku tahu apa yang salah, jika ia tak mau menjelaskannya kepadaku? Ia menutup diri bagiku. Kehilangan sahabat kurasakan seperti perceraian suami-istri. Pikiran dan kecemasan karena putus hubungan itu terus-menerus menjadi kemelut dalam diriku.
Kesembuhannya perlu waktu panjang. Ia tak bicara denganku selama 15 tahun. Selama itu aku belajar meringankan perasaan sakit hati dengan membuka diriku pada hubungan-hubungan baru. Walaupun aku masih peduli kepada temanku itu, aku sadar bahwa peduli padanya tidak berarti aku harus menderita karena dia.
Suatu kali, aku pergi ke pasar swalayan untuk membeli bahan makan malam. Sepertinya aku masuk ke jalur antrean yang salah. Kasir mengumumkan ia hanya akan melayani orang yang ada di depanku, aku harus pindah ke kasir lain.
Tanpa memerhatikan ke mana aku pergi, aku membariskan kereta belanjaanku di belakang seseorang. Ketika aku memerhatikan, orang di depanku itu adalah teman lamaku.
Aku tersenyum padanya. "Hai, apa kabar?" tanyaku.
"Baik. Bagaimana keadaanmu?" ia menanggapi.
Aku kaget, memandang sekeliling. "Kamu bicara padaku?" aku balik bertanya. Lalu terjadi pembicaraan selama 20 menit. Banyak kata positif yang diucapkannya.
Aku bertanya, mengapa kali ini ia mau bicara denganku? Katanya, ketika aku menyapanya, aku tersenyum.
Saat menyetir mobil pulang ke rumah, aku takjub pada kekuatan pandangan mata dan sebuah senyuman. Senyuman merupakan berkat bagi orang yang kita senyumi. Dan senyuman membantu orang lain untuk tersenyum juga.
Kisah tentang teman lamaku itu masih terus berlanjut. Kami makan siang bersama beberapa kali sejak pertemuan di pasar swalayan. Penyembuhan batin dimulai. Sungguh tepat yang dikatakan Phyllis Diller (1917-2012), artis asal Amerika Serikat, "Senyuman adalah lengkungan yang meluruskan segala sesuatu."
(Dari: Buku Tuhan Tahu Anda Stres, karya Anne Bryan Smollin. Penerbit Dioma, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar