Beberapa hari sebelum Natal tahun 1924. Di luar badai salju hebat menerpa setiap baris rumah. Keluargaku baru saja pindah dari pedesaan ke kota dua bulan sebelumnya. Kami belum mengenal tetangga satu pun.
Ketika itu aku masih gadis kecil berusia lima tahun yang sedang terserang demam tinggi. Penderita satu-satunya penyakit difteri di Philadelphia.
Penyakitku sudah didiagnosis dokter dua minggu silam. Dengan segera, ayah dan kakak perempuanku diberi suntikan antitoksin, lalu diungsikan ke rumah saudara kami sampai masa penularan berlalu. Ibu menolak memasukkanku ke rumah sakit di kota yang masih asing baginya. Ia memilih tetap di rumah merawatku.
Pengurus kota menempelkan tanda peringatan berwarna kuning di pintu depan dan belakang rumah kami, tanda adanya penyakit menular. Untuk memastikan tak ada yang datang ke rumah selain dokter, dan kami tetap berada di dalam rumah, seorang polisi berjaga 24 jam di pintu rumah.
Jika kami mendapat surat, benda itu diletakkan di anak tangga; kemudian polisi mengetuk pintu dan mundur beberapa langkah. Ibu membuka pintu sedikit, lalu dengan cepat mengambil surat tersebut.
Pada masa itu persiapan Natal cukup dilakukan seminggu sebelumnya, tidak seperti sekarang belanja Natal sudah dimulai bulan Oktober. Kami menyambut Natal secara berbeda tahun itu. Karena serangan difteri, tak ada yang memikirkan Natal. Kondisi kesehatanku yang terpenting.
Sore 23 Desember, polisi mengetuk pintu. Ada surat dari saudara perempuan ibuku. Ia seorang Katolik, mengirimkan sekantong kecil medalion. "Aku tidak bisa berada bersamamu," tulisnya, "tetapi aku ingin membantu. Sematkan medalion yang telah diberkati pastor ini ke gaun tidur putrimu dan yakinlah."
Ibuku mau melakukan apa pun untuk kesembuhanku, meskipun harapannya kecil. Ia menatap pipiku yang kurus dan mengompres dahiku. Mataku terus terpejam.
Sore keesokan harinya, ibuku mendengar panggilan lirih. Ia bergegas menuju ke kamarku dan menangis bahagia. Demamku turun dan aku membuka mata. Sambil mengucap syukur, ibu berlutut dan memelukku.
Namun, rasa leganya tiba-tiba lenyap lagi ketika mendengar kata-kata pertamaku, "Mama, ini malam Natal. Apa yang akan dibawakan sinterklas?" "Bukan, bukan!" seru ibuku. "Sayang, kau sakit lama sekali. Sekarang belum malam Natal." Meskipun ibu berusaha keras meyakiniku, aku tidur malam itu dengan bayangan indah menari-nari di kepalaku.
Di lantai bawah ibuku panik. Bertahun-tahun kemudian ia bercerita, ia sempat ingin mengenakan pakaian ayahku dan mencoba menyelinap ke luar, ke toko di pojok jalan, untuk membelikanku hadiah. Tentu saja ia tak melakukannya. Ibu hanya berharap ia bisa menyakiniku bahwa Natal belum tiba.
Di pagi hari Natal, aku bangun dengan antisipasi khas anak-anak. Ibu masih setengah tertidur ketika polisi mengetuk pintu rumah kami. Ibu terkesiap kaget melihat di tangga ada sekeranjang besar berisi hidangan Natal untuk dua orang dan sejumlah mainan untuk gadis kecil berusia lima tahun.
Ibu melempar pandangan, bertanya kepada si polisi. Tetapi polisi hanya tersenyum dan angkat bahu.
Kesehatanku pulih kembali, tanpa aku menyadari ada dua keajaiban pada Natal tahun itu. Ayah dan kakak perempuanku pulang dan kami melanjutkan hidup di kota tersebut.
Seiring berjalannya waktu, ibuku menjalin persahabatan dengan tetangga - seorang perempuan Irlandia yang ramah, ibu enam anak. Mereka bersahabat selama bertahun-tahun, tetapi baru belakangan ibuku akhirnya mengetahui rahasia di balik keajaiban Natal tahun 1924.
Sahabatnya - orang Irlandia itulah - yang saat itu meski belum saling mengenal, memahami sebagai sesama ibu. Ia tahu betapa sulit situasi yang dihadapi ibuku dan berbaik hati mengirim keranjang Natal kepada kami. Berkat dirinya, aku masih percaya pada sinterklas. Kau hanya perlu mencarinya di tempat yang tepat. (Gerrie Edwards)
(Dari: Buku Chicken Soup for Every Mom's Soul - Kisah-Kisah tentang Cinta dan Inspirasi untuk Para Ibu, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Heather McNamara, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar