Inilah yang biasa kita lakukan dalam membangun hidup rohani dan batin kita: membentuk dan menjalankan hidup rohani itu sesuai dengan rencana yang menyenangkan diri kita.
Bangunan hidup rohani kita bentuk sesuai kemampuan kita, minat, dan sarana-sarana yang kita punyai. Dengan demikian, kita dapat hidup aman, nyaman, dan menyenangkan.
Tetapi, tiba-tiba Tuhan datang dan lewat. Dengan sekali sentuh, Ia mengambrukkan seluruh bangunan rohani itu, yang mungkin benar dan tak membahayakan, namun sesungguhnya hanya menjadikan kita "tanggung" dan setengah-setengah saja.
Ketika Tuhan lewat menghampiri kita, kita merasa sedikit sekalilah gunanya segala teori hidup rohani yang indah-indah, yang mungkin juga mengajarkan kepada kita untuk mengingkari diri dan menarik diri dari kesenangan-kesenangan kita.
Ketika Tuhan mengambrukkan bangunan rohani kita, kita merasa semua yang indah tak ada gunanya, jika itu tidak dipraktikkan dan diwujudkan dalam hidup kita yang nyata.
Begitulah sesungguhnya kesucian bisa diraih. Tak seorang pun bisa menjadi suci hanya dengan program dan rencana rohaninya sendiri. Ia harus membalikkan semua rencana, program, dan proyek rohaninya secara total.
Proses ini pahit, terpaksa mengusik kemapanan dan kenyamanan hidup rohani. Tetapi tampaknya tak ada jalan untuk menjadi suci, kecuali dengan rela menerima "paksaan" Tuhan, agar kita mau meninggalkan dan merobohkan bangunan hidup rohani kita, yang kita kira telah kita bangun dengan susah payah, padahal sebenarnya hanya kita bangun sesuai dengan rencana dan rasa kenyamanan kita, serta kita rancang seturut kekerdilan diri kita.
Tuhan menginginkan yang lebih besar, karena itu Ia merombak dan merobohkan apa yang tanggung dan setengah-setengah saja.
(Abbes Cecile Bruyere, OSB)
(Dari: Buku Laksana Rusa Mendamba Air - Persembahan Harian 2017. Penerbit Sekretariat Nasional Kerasulan Doa Indonesia)
Revolusi Batin
Batin Hening Menciptakan Makna Besar Bagi Kehidupan
Cari Blog Ini
Selasa, 31 Januari 2017
Rabu, 18 Januari 2017
Berani Memaafkan
Tuhan, aku tahu, tak mungkin ada kehidupan bersama, tanpa ada kemauan untuk saling memaafkan.
Tuhan, aku pun tahu, betapa sulit memaafkan teman-teman yang hidup bersama aku dan dekat dengan aku.
Sering, mereka yang kuanggap lawan itu tidaklah datang dari kejauhan, tetapi dari lingkungan yang paling dekat dengan aku.
Orang-orang dekat selingkaran sering bisa saling menyerang dan menjatuhkan, jauh lebih keras dan brutal daripada orang-orang yang saling bermusuhan di kejauhan.
Aku pun mengalami, teman-teman dekat itu sering justru menjadi beban yang tak tertanggungkan bagiku.Sebaliknya, aku jugalah yang sering membuat mereka sedih,marah, dan menderita.
Adakah hal itu wajar, ya Tuhan, sampai Nabi Yusuf pun dibenci dan dibuang oleh saudara-saudaranya sendiri?
Namun, Kau tak membuat Yusuf jadi pembenci atau pembalas dendam. Yusuf menjadi pemaaf, serta rela memberi makan dan tumpangan bagi saudara-saudaranya yang dulu membenci dan membuangnya. Hatinya tak tega melihat saudara-saudaranya yang terkena bencana kelaparan.
Pada Yusuf, Kau telah membuat yang baik dari yang jahat, untuk menunjukkan, kejahatan itu adalah sia-sia dan akan kalah.
Tuhan, sadarkanlah aku, jika aku membenci, bukan orang lain tetapi aku sendirilah yang akan merugi.
Hidupku jadi tidak tenang karena ingin membalas dendam, tidurku akan terganggu karena setiap kali memikirkan bagaimana aku bisa menderitakan orang yang membenci aku.
Berilah aku rahmat untuk mengerti, ya Tuhan, dengan mengampuni dan memaafkan, bukan orang lain tetapi aku sendirilah yang pertama-tama akan diuntungkan.
Hidupku tak lagi dijerat dan dibebani dengan bayang-bayang, kapan aku bisa membalas dendam. Aku akan tidur dengan tenang, karena pelbagai beban dendam dan kebencian diam-diam telah terangkat pergi, dan aku menjadi lega sekali.
Tuhan, berilah aku kerahiman-Mu, hingga aku benar-benar sadar dan bisa menjalankan anjuran-Mu: hendaknya aku mengampuni sesamaku tidak hanya tujuh kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh. Kuserahkan pada-Mu ya Tuhan, dendam dan kebencianku. Berilah aku pengampunan-Mu. Amin.
(Georg Magirius)
(Dari: Buku Laksana Rusa Mendamba Air - Persembahan Harian 2017. Penerbit Sekretariat Nasional Kerasulan Doa Indonesia)
Tuhan, aku pun tahu, betapa sulit memaafkan teman-teman yang hidup bersama aku dan dekat dengan aku.
Sering, mereka yang kuanggap lawan itu tidaklah datang dari kejauhan, tetapi dari lingkungan yang paling dekat dengan aku.
Orang-orang dekat selingkaran sering bisa saling menyerang dan menjatuhkan, jauh lebih keras dan brutal daripada orang-orang yang saling bermusuhan di kejauhan.
Aku pun mengalami, teman-teman dekat itu sering justru menjadi beban yang tak tertanggungkan bagiku.Sebaliknya, aku jugalah yang sering membuat mereka sedih,marah, dan menderita.
Adakah hal itu wajar, ya Tuhan, sampai Nabi Yusuf pun dibenci dan dibuang oleh saudara-saudaranya sendiri?
Namun, Kau tak membuat Yusuf jadi pembenci atau pembalas dendam. Yusuf menjadi pemaaf, serta rela memberi makan dan tumpangan bagi saudara-saudaranya yang dulu membenci dan membuangnya. Hatinya tak tega melihat saudara-saudaranya yang terkena bencana kelaparan.
Pada Yusuf, Kau telah membuat yang baik dari yang jahat, untuk menunjukkan, kejahatan itu adalah sia-sia dan akan kalah.
Tuhan, sadarkanlah aku, jika aku membenci, bukan orang lain tetapi aku sendirilah yang akan merugi.
Hidupku jadi tidak tenang karena ingin membalas dendam, tidurku akan terganggu karena setiap kali memikirkan bagaimana aku bisa menderitakan orang yang membenci aku.
Berilah aku rahmat untuk mengerti, ya Tuhan, dengan mengampuni dan memaafkan, bukan orang lain tetapi aku sendirilah yang pertama-tama akan diuntungkan.
Hidupku tak lagi dijerat dan dibebani dengan bayang-bayang, kapan aku bisa membalas dendam. Aku akan tidur dengan tenang, karena pelbagai beban dendam dan kebencian diam-diam telah terangkat pergi, dan aku menjadi lega sekali.
Tuhan, berilah aku kerahiman-Mu, hingga aku benar-benar sadar dan bisa menjalankan anjuran-Mu: hendaknya aku mengampuni sesamaku tidak hanya tujuh kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh. Kuserahkan pada-Mu ya Tuhan, dendam dan kebencianku. Berilah aku pengampunan-Mu. Amin.
(Georg Magirius)
(Dari: Buku Laksana Rusa Mendamba Air - Persembahan Harian 2017. Penerbit Sekretariat Nasional Kerasulan Doa Indonesia)
Senin, 09 Januari 2017
Kisah "Post-It Notes"
Art Fry dan Post-It Notes |
Art Fry salah seorang ilmuwan di kantor 3M, memanfaatkan waktu kreatif tersebut. Ia anggota paduan suara gereja yang kerap menandai halaman yang dipilih di buku nyanyiannya dengan secarik kertas. Tetapi, potongan kertas itu berulang kali jatuh ke lantai.
Suatu hari, Fry mendapat inspirasi. Ia ingat sejenis perekat yang dikembangkan Spencer Silver, koleganya di perusahaan 3M. Perekat itu dianggap gagal karena tidak merekat dengan baik.
Fry memanfaatkan perekat itu di kertas penanda halaman buku nyanyiannya. "Ternyata kertas itu bukan hanya menjadi penunjuk halaman yang baik, tetapi juga baik untuk mencatat sesuatu di atasnya. Kertas itu akan tetap di tempatnya selama engkau suka. Engkau dapat memindahkan atau membuangnya tanpa merusak buku," kenang Fry.
Fry mendapat hadiah besar. Produk kreasinya yang disebut Post-It Notes menjadi salah satu produk 3M yang sangat sukses. Apa yang pernah dianggap sebagai kegagalan oleh banyak orang, menjadi keberhasilan karena pemikiran kreatif dengan memanfaatkan kesempatan baru.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna jilid 5 - 100 Cerita Bijak, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Minggu, 01 Januari 2017
Melampaui Dunia
Kita tidak tahu dan tidak boleh bertanya sebelum waktunya:
ke mana perjalanan di dunia ini akan membawa kita?
Ini saja yang perlu kita ketahui:
bagi mereka yang mencintai Tuhan, segalanya akan menguntungkan. Dan selanjutnya, Sang Penyelamat akan membawa kita ke jalan-jalan yang mengarah kepada hal-hal yang jauh melampaui dunia ini.
Edith Stein/St. Teresa Benedikta dari Salib (1891-1942)
Selamat Tahun Baru 2017
Senin, 26 Desember 2016
Tidur Ketika Angin Bertiup
Seorang pemuda menanggapi iklan lowongan kerja di sebuah usaha pertanian. Ia menceritakan pengalaman kerja sebelumnya kepada pemilik pertanian, lalu menambahkan, "Saya bisa tidur ketika angin bertiup." Pernyataan itu membingungkan si petani, tetapi karena ia butuh bantuan, ia mempekerjakan pemuda tersebut.
Selama beberapa bulan pemuda itu mengerjakan dengan baik semua tugas yang diberikan kepadanya. Petani merasa puas.
Suatu malam, angin badai luar biasa besar bertiup dari barat melintasi daratan itu. Jam dua dini hari, petani bangun lalu mengenakan pakaian, dan berlari keluar. Ia ingin menyelamatkan apa saja yang perlu diselamatkan.
Ia memeriksa gudang. Pintu dan jendela-jendela tertutup rapat, hewan-hewan terikat baik di kandang mereka. Kemudian, si petani memeriksa penampungan air, pompa, mesin, truk, dan garasi. Semua aman.
Petani tetap gelisah dan berlari ke sana-kemari. Ia yakin sesuatu pasti ada yang terlepas, terbuka, atau tertiup badai. Tetapi, segala sesuatu aman di tempat masing-masing.
Kemudian, petani pergi ke rumah tingkat untuk mengucapkan terima kasih kepada pekerjanya itu. Ia menemukan sang pekerja tidur dengan lelap. Teringatlah petani akan pernyataan yang pernah dikatakan pemuda itu, "Saya bisa tidur ketika angin bertiup."
Petani tersenyum. Pemuda itu telah mengerjakan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik, sehingga ia dapat tetap tidur ketika angin bertiup.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna jilid 5 - 100 Cerita Bijak, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Selama beberapa bulan pemuda itu mengerjakan dengan baik semua tugas yang diberikan kepadanya. Petani merasa puas.
Suatu malam, angin badai luar biasa besar bertiup dari barat melintasi daratan itu. Jam dua dini hari, petani bangun lalu mengenakan pakaian, dan berlari keluar. Ia ingin menyelamatkan apa saja yang perlu diselamatkan.
Ia memeriksa gudang. Pintu dan jendela-jendela tertutup rapat, hewan-hewan terikat baik di kandang mereka. Kemudian, si petani memeriksa penampungan air, pompa, mesin, truk, dan garasi. Semua aman.
Petani tetap gelisah dan berlari ke sana-kemari. Ia yakin sesuatu pasti ada yang terlepas, terbuka, atau tertiup badai. Tetapi, segala sesuatu aman di tempat masing-masing.
Kemudian, petani pergi ke rumah tingkat untuk mengucapkan terima kasih kepada pekerjanya itu. Ia menemukan sang pekerja tidur dengan lelap. Teringatlah petani akan pernyataan yang pernah dikatakan pemuda itu, "Saya bisa tidur ketika angin bertiup."
Petani tersenyum. Pemuda itu telah mengerjakan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik, sehingga ia dapat tetap tidur ketika angin bertiup.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna jilid 5 - 100 Cerita Bijak, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Senin, 19 Desember 2016
Kepekaan Rasa
The principle of compassion lies at the heart of all religious, ethical and spiritual traditions, calling us always to treat all others as we wish to treated ourselves. (From Charter for Compassion)
Prinsip kepekaan rasa merupakan fondasi ajaran semua agama, etika, dan tradisi spiritual, yang memanggil kita untuk selalu memperlakukan orang lain seperti kita sendiri ingin diperlakukan.
Wisdom:
Terlepas dari apa pun agama atau kepercayaan yang kita anut, seperti apa pun bentuk tradisi dan budaya spiritual yang dijalani, setiap manusia memiliki persamaan mendasar, yakni kepekaan rasa.
Semua agama didasari prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Setiap ajaran spiritual pun demikian, didasari prinsip mengasihi untuk mencapai suatu tingkat, yakni kebahagiaan dan kedamaian. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki hati dan jiwa yang sangat murni.
(Dari: Buku Timeless Wisdom for Mother, karya Lita Ariani S. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012)
Prinsip kepekaan rasa merupakan fondasi ajaran semua agama, etika, dan tradisi spiritual, yang memanggil kita untuk selalu memperlakukan orang lain seperti kita sendiri ingin diperlakukan.
Wisdom:
Terlepas dari apa pun agama atau kepercayaan yang kita anut, seperti apa pun bentuk tradisi dan budaya spiritual yang dijalani, setiap manusia memiliki persamaan mendasar, yakni kepekaan rasa.
Semua agama didasari prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Setiap ajaran spiritual pun demikian, didasari prinsip mengasihi untuk mencapai suatu tingkat, yakni kebahagiaan dan kedamaian. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki hati dan jiwa yang sangat murni.
(Dari: Buku Timeless Wisdom for Mother, karya Lita Ariani S. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012)
Selasa, 13 Desember 2016
"Pendebat" vs "Pencekik"
Ada sekelompok anak muda yang cerdas di sebuah universitas di daerah barat. Mereka punya bakat sastra yang menakjubkan. Agaknya mereka bakal jadi penyair dan novelis.
Anak-anak muda ini bertemu secara teratur untuk membaca dan mengritik karya-karya mereka satu sama lain. Mereka benar-benar mengritik sampai membedah ungkapan terkecil menjadi ratusan penggalan.
Dalam mengritik mereka sangat dingin dan kasar. Tetapi mereka melakukannya demi menggali karya sastra terbaik. Orang-orang yang tidak termasuk kelompok itu menyebut mereka "pencekik."
Karena tak mau kalah, beberapa perempuan berbakat sastra dari universitas yang sama membuat kelompok mirip dengan "pencekik." Mereka menyebut diri sebagai "pendebat." Mereka membaca karya-karya mereka, tetapi ada perbedaan dalam memberi tanggapan.
Kelompok "pendebat" lebih halus dalam menyampaikan kritik, lebih positif dan mendorong; bahkan, kadang tak ada kritik sama sekali. Setiap usaha paling kecil pun, dipuji dan disemangati.
Dua puluh tahun kemudian, pengurus alumni universitas itu membuat sebuah studi lengkap tentang karier para alumninya. Ternyata, ada perbedaan besar dalam karya literatur yang dihasilkan kelompok "pencekik" dengan "pendebat."
Dari semua anak muda yang cerdas dan berbakat dalam kelompok "pencekik," tak satu pun menghasilkan karya literatur yang berarti. Sementara dari kelompok "pendebat" muncul enam atau lebih penulis yang berhasil.
Bakat anak-anak muda di kedua kelompok itu mungkin sama. Tingkat pendidikan mereka juga tidak banyak berbeda. Namun, "pencekik" mematikan, sedangkan "pendebat" terpanggil untuk memberi dorongan satu sama lain. (Ted Engstrom)
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna jilid 5 - 100 Cerita Bijak, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Anak-anak muda ini bertemu secara teratur untuk membaca dan mengritik karya-karya mereka satu sama lain. Mereka benar-benar mengritik sampai membedah ungkapan terkecil menjadi ratusan penggalan.
Dalam mengritik mereka sangat dingin dan kasar. Tetapi mereka melakukannya demi menggali karya sastra terbaik. Orang-orang yang tidak termasuk kelompok itu menyebut mereka "pencekik."
Karena tak mau kalah, beberapa perempuan berbakat sastra dari universitas yang sama membuat kelompok mirip dengan "pencekik." Mereka menyebut diri sebagai "pendebat." Mereka membaca karya-karya mereka, tetapi ada perbedaan dalam memberi tanggapan.
Kelompok "pendebat" lebih halus dalam menyampaikan kritik, lebih positif dan mendorong; bahkan, kadang tak ada kritik sama sekali. Setiap usaha paling kecil pun, dipuji dan disemangati.
Dua puluh tahun kemudian, pengurus alumni universitas itu membuat sebuah studi lengkap tentang karier para alumninya. Ternyata, ada perbedaan besar dalam karya literatur yang dihasilkan kelompok "pencekik" dengan "pendebat."
Dari semua anak muda yang cerdas dan berbakat dalam kelompok "pencekik," tak satu pun menghasilkan karya literatur yang berarti. Sementara dari kelompok "pendebat" muncul enam atau lebih penulis yang berhasil.
Bakat anak-anak muda di kedua kelompok itu mungkin sama. Tingkat pendidikan mereka juga tidak banyak berbeda. Namun, "pencekik" mematikan, sedangkan "pendebat" terpanggil untuk memberi dorongan satu sama lain. (Ted Engstrom)
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna jilid 5 - 100 Cerita Bijak, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Langganan:
Postingan (Atom)