Seorang pertapa bertanya kepada batu, "Batu, mengapa kalian hanya diam?" Batu menjawab, "Aku sedang belajar kesabaran dari semesta melalui kegiatan menunggu."
Pertapa lain berbisik kepada air, "Air, apa pelajaran terpenting yang kau peroleh dalam hidup?" Dengan tersenyum gemercik air bersuara, "Kelenturan adalah sumber kekuatan. Bukankah karena kami begitu lentur, tak ada yang bisa mematahkannya?"
Ada juga pertapa yang bercakap-cakap dengan pohon dan bertanya, "Ke mana engkau berjalan, sahabat?" Rupanya pohon tidak bisa menjawab, tetapi ia perlahan bergerak menuju cahaya, seolah sedang berucap, "Cahaya, itulah awal sekaligus akhir setiap perjalanan."
Di tempat lain ada pertapa yang bertanya kepada api, "Ke mana engkau pergi setelah mati?" Dalam bahasa keheningan, api 'berucap,' "Ada banyak hal dalam kehidupan yang tak bisa diwakili oleh kata-kata. Dan lebih banyak lagi jumlah manusia yang tak bisa memahaminya."
(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., SJ. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006)
Cari Blog Ini
Sabtu, 25 Juni 2016
Kamis, 16 Juni 2016
Tidak Dengar
Dialog di antara tiga penghuni rumah jompo di luar negeri:
Jompo satu, "I am closing the window, because it is windy."
Jompo dua, "No, it is not Wednesday, it is Thursday!"
Jompo tiga, "Yes, I am thirsty too."
Aduh, kasihan orang yang agak tuli. Orang sehat pun bisa salah dengar. Orang tuli tinggal menerka apa yang dikatakan orang lain, dan memang biasanya salah terka. Hasilnya ya lucu: kedengaran seakan-akan berbicara satu sama lain tentang bahan atau hal yang sama, padahal masing-masing hidup dan tinggal dalam dunianya sendiri.
Aduh, kasihan kita orang sehat, kalau kita datang dari keyakinan agama atau politik yang berbeda: kita merasa terancam, menjadi defensif, mau menang sendiri; dan dengan demikian tak sanggup, tak rela, malah tidak mau mendengarkan pihak lain.
(Dari: Buku Hidup itu Kadang Lucu - Hikmat 100 Kisah Jenaka, karya Siegfried Zahnweh, S.J. Penerbit Dioma, 2006)
Selasa, 07 Juni 2016
Life Must Go On
Robert Enke (1977-2009) |
Begitulah gambaran kematian Enke pada 10 November 2009. Secara tragis, mantan kiper sepak bola asal Jerman ini mengakhiri hidupnya sendiri karena depresi yang berkepanjangan.
Banyak yang tidak menyangka, Enke yang dikenal ramah dan dihormati, ternyata menyimpan masalah. Kariernya di sepak bola tidak berjalan mulus, termasuk ketika bermain di Barcelona dan Fenerbahce, yang membuatnya pulang kampung ke Hannover tahun 2004.
Di tim nasional Jerman pun, Enke gagal masuk nominasi kiper untuk Piala Dunia 2006. Walau terdaftar dalam skuad Der Panzer di Euro 2008, tetapi Enke tidak main sama sekali. Tahun 2003 Enke sempat mengikuti terapi psikologis sewaktu ia dikambinghitamkan atas kekalahan Barcelona.
Enke mulai mengalami masalah mental serius ketika Lara, anak perempuan satu-satunya yang berusia 2 tahun, meninggal dunia tahun 2006 karena gagal jantung. Ia dan istrinya, Teresa, mencoba membangun kehidupan baru dengan menetap di kawasan pedesaan yang tenang. Mereka mengadopsi bayi perempuan berusia 3 bulan yang dinamai Leila.
"Saya sudah mencoba mendampinginya. Saya katakan, sepak bola bukan segalanya. Waktu ia depresi akut, itulah periode sulit. Kami pikir, kami telah mengatasi semuanya. Kami pikir, dengan cinta kami bisa menghadapinya, tetapi ternyata tidak," tutur Teresa.
Agaknya kasih sayang istri dan kehadiran putri angkatnya tidak mampu menghilangkan dukacita Enke. Ia lebih memilih mengakhiri hidupnya ketimbang menerima realitas.
Kita perlu belajar menerima realitas, seperti kegagalan dan dukacita. Ketika kita tidak dapat lagi mengubah realitas, yang bisa kita lakukan adalah menerimanya dan melanjutkan hidup kita. Life must go on!
(Dari: Buku Manna Sorgawi - Renungan untuk Pribadi, Keluarga, dan Kelompok, edisi Januari 2015. Penerbit YPI Kawanan Kecil Divisi Renungan)
Langganan:
Postingan (Atom)