Orang memiliki mata untuk melihat. Tetapi kebanyakan orang tidak sungguh melihat secara utuh apa yang dilihatnya, karena orang melihat lebih cepat melalui pikirannya atau gambarannya daripada dengan mata dan batinnya yang polos.
Marilah kita lihat bersama kebiasaan umum kita melihat. Ketika kita melihat suatu objek, misalnya lukisan tertentu di depan kita, kita cenderung melihat melalui gambaran-gambaran yang sudah ada di benak kita. Lalu kita berpikir, menilai, mengapresiasi objek yang baru saja kita lihat.
Melihat dengan cara demikian tidak membuat suatu objek yang dilihat bisa ditangkap keutuhannya, karena sebenarnya kita hanya melihat gambaran kita sendiri tentang objek tersebut. Gambaran itu lalu kita proyeksikan ke luar pada objek yang kita lihat. Karena itu, apa yang kita lihat sebenarnya bukan objeknya itu sendiri, melainkan gambaran-gambaran kita sendiri.
Kalau mata Anda mengamati suatu objek dan batin yang mengamati tidak terseret pada objek tersebut, maka mata dan batin mampu melihat tanpa melibatkan pikiran atau si pemikir. Diam atau bergeraknya saraf-saraf mata memengaruhi diam atau bergeraknya otak; dan diamnya otak memengaruhi intensitas batin yang mampu melihat tanpa si pelihat.
Bisakah kita melihat segala sesuatu – misalnya alam semesta, pasangan atau sahabat, masalah-masalah kita - dari batin yang hening, tanpa intervensi ide-ide, tanpa harapan, tanpa ketakutan, tanpa keinginan, tanpa ingatan kenikmatan atau kepahitan, tanpa masa lampau?
Batin yang hening melihat segala sesuatu secara langsung dan bertindak seketika. Ia bertindak bukan untuk mencari sesuatu yang lain, kecuali bertindak dengan penuh perhatian seolah-olah sedang bertindak untuk pertama kalinya. Bisakah dengan batin yang hening dan mata terbuka Anda melihat alam semesta, sahabat, atau masalah-masalah Anda seolah baru pertama kali melihatnya?
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar