Setiap hari kita menghadapi berbagai persoalan atau tantangan di keluarga, tempat kerja, organisasi, dan lingkungan.
Ada masalah yang kecil atau besar, ada masalah ringan atau berat. Masalah-masalah itu bisa membuat kita pusing; kalau kita ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Pengetahuan yang kita kumpulkan selama hidup, rasanya selalu tidak cukup untuk bisa menjawab setiap tantangan yang datang.
Dibutuhkan Kearifan atau Kebijaksanaan (wisdom), untuk bisa menjawab masalah atau tantangan dengan benar. Apa yang dimaksud dengan Kearifan? Umumnya orang memahami kearifan sebagai kemampuan menghadapi masalah secara benar, sebagai respons dari akumulasi pengalaman atau pengetahuan di masa lampau.
Orang suka mengulang-ulang kata-kata suci, hafal kata-kata dari kitab suci, atau hafal dogma-dogma kebenaran. Tetapi kata-kata hikmat tidak akan membuat batin tumbuh dalam Kearifan. Kata-kata bijaksana tidak lebih dari buah pikiran, sekali pun sudah dibatinkan.
Kata tidak bisa menjadi sumber Kearifan. Kearifan tidak ada dalam buku-buku kebijaksanaan, kitab-kitab suci, dan berbagai ajaran guru-guru spiritual. Pengetahuan atau pengalaman tidak bisa melahirkan Kearifan.
Lalu di mana Kearifan ditemukan? Setiap tantangan selalu baru. Meski pun kasusnya memiliki pola yang mirip atau sama, masalahnya sendiri selalu baru. Kalau batin merespons tantangan lewat pengetahuan atau pengalaman, lewat apa yang lama; sesungguhnya batin tidak merespons tantangan, melainkan hanya bereaksi terhadap tantangan menurut keterkondisiannya.
Reaksi datang dari pikiran, sedangkan respons datang dari pemahaman. Reaksi datang dari batin yang terkondisi, sementara respons datang dari batin yang bebas dari keterkondisian. Reaksi datang dari masa lampau, respons datang pada Saat Sekarang.
Yang dimaksud respons yang benar di sini bukanlah kesesuaian dengan rumus atau dogma kebenaran,melainkan pemahaman akan perkaranya secara langsung. Itulah yang disebut dengan Kearifan.
Menyadari reaksi-reaksi batin dan memahaminya merupakan awal bangkitnya Kearifan. Batin yang menemukan rasa aman karena berpaling pada pengetahuan, telah menutup diri bagi mekarnya Kearifan. Justru batin yang tidak aman dalam menghadapi setiap tantangan, terbuka terhadap mekarnya Kearifan.
Ketika reaksi-reaksi berhenti – reaksi aman atau tidak aman, menolak atau melekat, senang atau tidak senang – bukankah muncul respons terhadap tantangan yang bukan berasal dari keterkondisian?
Tidak ada buku, sekolah, guru, atau orang lain yang bisa mengajar kita tentang Kearifan. Kearifan mekar dengan sendirinya, kalau kita memahami lika-liku batin, dan itu hanya mungkin kalau batin sepenuhnya berada dalam keheningan.
Batin yang hening bagaikan tanah subur bagi mekarnya Kearifan. Bisakah membiarkan Kearifan muncul dan bertindak dalam menghadapi setiap tantangan yang datang dari saat ke saat?
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)