Bekerja terlalu keras adalah kompensasi atas perasaan buruk. Sering kali kita menjadi begitu andal dalam pekerjaan kita, sehingga ketika bekerja, kita merasa kita adalah diri kita yang terbaik.
Namun, gila kerja (workaholism) mengacu pada sesuatu dari masa lalu yang belum kita lepas. Ini artinya ada semacam penilaian, konflik, atau sakit hati; ada semacam perasaan lama yang masih kita pendam.
Jika kita melepaskannya, secara alami kita akan menyeimbangkan situasi kerja kita di mana kita bekerja tidak berlebihan, dan memiliki keberanian untuk berurusan dengan perasaan apa pun yang muncul dalam diri kita.
Kemauan kita untuk menemukan apa yang belum kita lepas itu dan melepaskannya, akan memungkinkan kita untuk bekerja secara lebih murni dan efektif.
Latihan
Hari ini, cobalah periksa situasi di mana Anda tampak bekerja terlalu keras, di mana hidup tampak seperti beban. Sadarilah bahwa ini adalah area di mana Anda belum melepaskan sesuatu, di mana Anda masih menyimpan duka. Tanyakan kepada diri Anda sendiri apakah itu? Bersedialah melepaskannya sekarang.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Cari Blog Ini
Kamis, 26 Februari 2015
Senin, 23 Februari 2015
Di Sini Jual Ikan Segar
Suatu pagi, seorang penjual ikan mulai berjualan ikan segar di pasar. Ia memasang papan bertuliskan, "Di Sini Jual Ikan Segar."
Tak lama kemudian, datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisan itu. "Mengapa engkau menulis kata 'Di Sini'? Bukankah semua orang tahu engkau berjualan di sini, bukan di sana?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Ia menghapus kata 'Di Sini,' tulisannya menjadi "Jual Ikan Segar."
Lalu, datang pengunjung lain yang menanyakan tulisan lagi. "Mengapa engkau memakai kata 'Segar'? Bukankah semua orang tahu yang engkau jual adalah ikan segar bukan ikan busuk?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Ia menghapus kata 'Segar,' tulisannya menjadi "Jual Ikan."
Sesaat kemudian, datang pengunjung ketiga yang menanyakan tulisannya. "Mengapa engkau menulis kata 'Jual'? Bukankah semua orang tahu ikan-ikan ini untuk dijual bukan dipamerkan?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Ia menghapus kata 'Jual,' dan tinggallah tulisan "Ikan."
Selang beberapa waktu, datang pengunjung berikutnya yang menanyakan tulisannya, "Mengapa engkau memasang kata 'Ikan'? Bukankah semua orang sudah tahu ini ikan bukan daging?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Lalu, ia menurunkan papan itu.
Tak ada hal yang membuat kita frustasi, selain berusaha menyenangkan semua orang.
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-Kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Tak lama kemudian, datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisan itu. "Mengapa engkau menulis kata 'Di Sini'? Bukankah semua orang tahu engkau berjualan di sini, bukan di sana?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Ia menghapus kata 'Di Sini,' tulisannya menjadi "Jual Ikan Segar."
Lalu, datang pengunjung lain yang menanyakan tulisan lagi. "Mengapa engkau memakai kata 'Segar'? Bukankah semua orang tahu yang engkau jual adalah ikan segar bukan ikan busuk?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Ia menghapus kata 'Segar,' tulisannya menjadi "Jual Ikan."
Sesaat kemudian, datang pengunjung ketiga yang menanyakan tulisannya. "Mengapa engkau menulis kata 'Jual'? Bukankah semua orang tahu ikan-ikan ini untuk dijual bukan dipamerkan?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Ia menghapus kata 'Jual,' dan tinggallah tulisan "Ikan."
Selang beberapa waktu, datang pengunjung berikutnya yang menanyakan tulisannya, "Mengapa engkau memasang kata 'Ikan'? Bukankah semua orang sudah tahu ini ikan bukan daging?"
Benar juga, pikir si penjual ikan. Lalu, ia menurunkan papan itu.
Tak ada hal yang membuat kita frustasi, selain berusaha menyenangkan semua orang.
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-Kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Kamis, 19 Februari 2015
Kenali Musuh dan Diri Sendiri
Orang yang mengenal musuh dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan berada dalam bahaya dalam seratus pertempuran.
Orang yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri - kadang-kadang akan menjadi pemenang, kadang-kadang akan mengalami kekalahan.
Orang yang tidak mengenal keduanya, baik musuh maupun dirinya sendiri, akan selalu kalah dalam setiap pertempuran.
(Sun Tzu, 544-496 SM, filsuf & ahli strategi perang asal China)
(Dari: Buku Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Orang yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri - kadang-kadang akan menjadi pemenang, kadang-kadang akan mengalami kekalahan.
Orang yang tidak mengenal keduanya, baik musuh maupun dirinya sendiri, akan selalu kalah dalam setiap pertempuran.
(Sun Tzu, 544-496 SM, filsuf & ahli strategi perang asal China)
(Dari: Buku Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Senin, 16 Februari 2015
Mengejar Kereta
Sepasang suami-istri yang bermukim di tepi rel kereta memiliki anjing kesayangan. Anjing itu selalu menyalak garang dan mengejar kereta yang lewat sampai ia kelelahan.
Suatu hari, sang istri bertanya kepada suaminya, "Sebetulnya apa yang diperbuat anjing kita?" "Tak ada lain, kecuali mengejar kereta, tetapi belum pernah sekali pun terkejar," jawab suaminya.
"Lantas, kalau kereta itu berhasil dikejarnya, mau diapakan kereta itu?" tanya istrinya lagi. "Ya.... begitu saja, tidak akan diapa-apakan," tanggap sang suami.
Banyak manusia di dunia ini mengejar harta, kedudukan, nama, dan sebagainya. Tetapi, setelah didapatinya, lalu bagaimana?
(Dari: Buku 85 Mutiara Hidup - Belajar Bijak dari Binatang dan Tumbuhan, karya Yustinus Sumantri Hp, S.J. Penerbit Fidei Press, 2008)
Suatu hari, sang istri bertanya kepada suaminya, "Sebetulnya apa yang diperbuat anjing kita?" "Tak ada lain, kecuali mengejar kereta, tetapi belum pernah sekali pun terkejar," jawab suaminya.
"Lantas, kalau kereta itu berhasil dikejarnya, mau diapakan kereta itu?" tanya istrinya lagi. "Ya.... begitu saja, tidak akan diapa-apakan," tanggap sang suami.
Banyak manusia di dunia ini mengejar harta, kedudukan, nama, dan sebagainya. Tetapi, setelah didapatinya, lalu bagaimana?
(Dari: Buku 85 Mutiara Hidup - Belajar Bijak dari Binatang dan Tumbuhan, karya Yustinus Sumantri Hp, S.J. Penerbit Fidei Press, 2008)
Sabtu, 14 Februari 2015
Rahasia Pernikahan yang Bahagia
Ibu saya seorang yang sangat baik. Sejak kecil saya melihatnya
menjaga keutuhan keluarga dengan sangat gigih. Namun, di mata ayah, ibu saya
bukan pasangan yang baik. Ayah selalu menyatakan kesepian dalam perkawinannya.
Ayah saya pria yang baik dan bertanggung jawab. Ia serius bekerja dan mendorong anak-anaknya berprestasi dalam studi. Tetapi, di mata ibu, ayah juga bukan pasangan yang baik. Saya kerap melihat ibu menangis terisak di sudut halaman.
Dalam proses pertumbuhan, saya mendengar dan menyaksikan ketidakberdayaan pernikahan orangtua saya, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Sebenarnya mereka layak menikmati pernikahan yang indah. Saya bertanya kepada diri sendiri, “Dua orang yang baik, mengapa tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia?”
Setelah dewasa, saya memasuki kehidupan rumah tangga. Perlahan-lahan saya mengetahui jawabannya. Di awal pernikahan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga. Anehnya, saya tidak merasa bahagia; suami saya pun sepertinya tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak... Lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya kami berdua tetap saja tidak bahagia. Sampai suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata, “Istriku, temani aku sejenak mendengarkan alunan musik.”
Dengan mimik tak senang saya berkata, “Apa tidak lihat, masih separuh lantai lagi belum dipel?” Begitu melontarkan kata-kata itu, saya tercenung. Kalimat yang sama tidak asing di telinga saya dalam pernikahan orangtua saya. Ibu sering berkata demikian kepada ayah. Dan kini saya sedang mengulang ketidakbahagiaan dalam pernikahan mereka.
Muncul kesadaran dalam hati. Saya hentikan pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami. “Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu dan mencuci pakaianmu,” saya mengatakan serentetan hal-hal yang dibutuhkannya. “Semua itu tidak penting,” ujar suami saya. “Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.”
Ternyata, kami memiliki cara masing-masing untuk mencintai, tetapi bukan cara seperti yang diharapkan pasangan. Kami lalu membuat sederet daftar kebutuhan pasangan. Puluhan kebutuhan ditulis panjang-lebar dan jelas, contohnya waktu senggang menemani suami mendengarkan musik, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila pasangan akan pergi, dan lainnya.
Bagi saya ini jalan yang cukup sulit ditempuh, tetapi jauh lebih santai daripada mengepel lantai. Pernikahan kami kian hari kian penuh daya hidup.
Kini saya tahu, mengapa pernikahan ayah dan ibu tidak bahagia. Mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri untuk mencintai pasangannya, bukan mencintai pasangan dengan cara yang diharapkan pasangan.
Setiap orang layak menikmati pernikahan yang bahagia. Jadilah orang yang dibutuhkan pasangan, bukan berusaha keras membahagiakan pasangan sesuai keinginan kita sendiri.
Ayah saya pria yang baik dan bertanggung jawab. Ia serius bekerja dan mendorong anak-anaknya berprestasi dalam studi. Tetapi, di mata ibu, ayah juga bukan pasangan yang baik. Saya kerap melihat ibu menangis terisak di sudut halaman.
Dalam proses pertumbuhan, saya mendengar dan menyaksikan ketidakberdayaan pernikahan orangtua saya, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Sebenarnya mereka layak menikmati pernikahan yang indah. Saya bertanya kepada diri sendiri, “Dua orang yang baik, mengapa tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia?”
Setelah dewasa, saya memasuki kehidupan rumah tangga. Perlahan-lahan saya mengetahui jawabannya. Di awal pernikahan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga. Anehnya, saya tidak merasa bahagia; suami saya pun sepertinya tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak... Lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya kami berdua tetap saja tidak bahagia. Sampai suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata, “Istriku, temani aku sejenak mendengarkan alunan musik.”
Dengan mimik tak senang saya berkata, “Apa tidak lihat, masih separuh lantai lagi belum dipel?” Begitu melontarkan kata-kata itu, saya tercenung. Kalimat yang sama tidak asing di telinga saya dalam pernikahan orangtua saya. Ibu sering berkata demikian kepada ayah. Dan kini saya sedang mengulang ketidakbahagiaan dalam pernikahan mereka.
Muncul kesadaran dalam hati. Saya hentikan pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami. “Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu dan mencuci pakaianmu,” saya mengatakan serentetan hal-hal yang dibutuhkannya. “Semua itu tidak penting,” ujar suami saya. “Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.”
Ternyata, kami memiliki cara masing-masing untuk mencintai, tetapi bukan cara seperti yang diharapkan pasangan. Kami lalu membuat sederet daftar kebutuhan pasangan. Puluhan kebutuhan ditulis panjang-lebar dan jelas, contohnya waktu senggang menemani suami mendengarkan musik, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila pasangan akan pergi, dan lainnya.
Bagi saya ini jalan yang cukup sulit ditempuh, tetapi jauh lebih santai daripada mengepel lantai. Pernikahan kami kian hari kian penuh daya hidup.
Kini saya tahu, mengapa pernikahan ayah dan ibu tidak bahagia. Mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri untuk mencintai pasangannya, bukan mencintai pasangan dengan cara yang diharapkan pasangan.
Setiap orang layak menikmati pernikahan yang bahagia. Jadilah orang yang dibutuhkan pasangan, bukan berusaha keras membahagiakan pasangan sesuai keinginan kita sendiri.
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Kamis, 12 Februari 2015
Tikus Penakut
Alkisah seekor tikus mengadu kepada Tuhan, "Ya Tuhan, mengapa Engkau menjadikan aku sebagai tikus? Aku selalu dikejar-kejar kucing. Jadikanlah aku kucing yang paling kuat, supaya aku tak perlu takut lagi." Tuhan pun mendengar dan mengabulkan doanya. Tikus itu menjadi kucing besar yang kuat.
Setelah menjadi kucing, tikus merasa bangga, sampai ia bertemu anjing galak yang sangat ditakutinya. Tikus ini kembali menghadap Tuhan. "Oh, Tuhan, ternyata kucing lemah juga. Coba jadikanlah aku anjing yang paling besar supaya bisa aman hidup di dunia ini."
Si tikus dalam bentuk anjing, sekarang menjadi paling jagoan di kampung itu. Namun, ketika ia berjalan-jalan, ia berjumpa dengan harimau besar yang sangat mengerikan. Ia lari pontang-panting. "Sekali lagi, ya Tuhan, tolong jadikan aku harimau supaya bisa mengalahkan semua binatang lain," doa tikus.
Tuhan menjawab, "Hai tikus, selama hatimu tikus, walau badan dan statusmu menjadi kucing, anjing, harimau, atau apa pun, hatimu tetaplah tikus. Lebih baik kamu berdoa supaya walau badanmu tikus, hatimu sekokoh harimau, sehingga engkau tetap tidak ketakutan terhadap apa pun."
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Setelah menjadi kucing, tikus merasa bangga, sampai ia bertemu anjing galak yang sangat ditakutinya. Tikus ini kembali menghadap Tuhan. "Oh, Tuhan, ternyata kucing lemah juga. Coba jadikanlah aku anjing yang paling besar supaya bisa aman hidup di dunia ini."
Si tikus dalam bentuk anjing, sekarang menjadi paling jagoan di kampung itu. Namun, ketika ia berjalan-jalan, ia berjumpa dengan harimau besar yang sangat mengerikan. Ia lari pontang-panting. "Sekali lagi, ya Tuhan, tolong jadikan aku harimau supaya bisa mengalahkan semua binatang lain," doa tikus.
Tuhan menjawab, "Hai tikus, selama hatimu tikus, walau badan dan statusmu menjadi kucing, anjing, harimau, atau apa pun, hatimu tetaplah tikus. Lebih baik kamu berdoa supaya walau badanmu tikus, hatimu sekokoh harimau, sehingga engkau tetap tidak ketakutan terhadap apa pun."
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Selasa, 10 Februari 2015
Gemuk karena Uang Rakyat
Ketika warga High Wycombe di Inggris - sebuah kota di Buckinghamshire, 29 mil dari London - akan memilih walikota baru, semua anggota dewan kota ditimbang di depan umum, mengikuti suatu tradisi kuno.
Para anggota dewan kota yang berat badannya kurang atau tidak bertambah berat dari berat badan mereka ketika pertama kali menduduki jabatan itu, diberi tepuk tangan oleh warga. Artinya, anggota-anggota dewan kota tersebut tidak bertambah gemuk dengan menggunakan uang rakyat.
Lebih mudah memulai daripada mempertahankan. Pastikan Anda tetap dikenal sebagai orang yang setia mengabdi pada Kebenaran.
(Dari: Buku 100 Kisah Karakter, karya Djohan Handojo. Penerbit Light Publishing, 2013)
Para anggota dewan kota yang berat badannya kurang atau tidak bertambah berat dari berat badan mereka ketika pertama kali menduduki jabatan itu, diberi tepuk tangan oleh warga. Artinya, anggota-anggota dewan kota tersebut tidak bertambah gemuk dengan menggunakan uang rakyat.
Lebih mudah memulai daripada mempertahankan. Pastikan Anda tetap dikenal sebagai orang yang setia mengabdi pada Kebenaran.
(Dari: Buku 100 Kisah Karakter, karya Djohan Handojo. Penerbit Light Publishing, 2013)
Minggu, 08 Februari 2015
Jejak Sepatu di Karpet
Seorang ibu rumah tangga mengurus rumahnya dengan baik. Rumah selalu tampak rapi dan bersih. Ia sangat marah kalau melihat ada jejak-jejak sepatu di atas karpet. Dengan keberadaan 4 anak lelaki, tentu ini bukanlah hal mudah.
Ia lalu menemui Virginia Satir, psikolog, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan keluhan si ibu, sang psikolog berkata, "Ibu, tutuplah mata Ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan."
"Bayangkan rumah Ibu yang rapi dengan karpet bersih tanpa jejak-jejak sepatu. Bagaimana perasaan Ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum Ibu merekah. Ia tampak senang dengan gambaran yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan, "Tetapi, itu berarti tidak ada seorang pun di rumah Ibu. Tak ada suami dan anak-anak. Tak terdengar canda dan tawa mereka. Rumah Ibu sepi dan kosong, tanpa orang-orang yang Ibu cintai." Seketika, raut wajah si ibu berubah keruh.
"Sekarang, lihat kembali karpet itu. Ibu melihat jejak-jejak sepatu di sana. Artinya, suami dan anak-anak ada di rumah. Kehadiran mereka menghangatkan hati Ibu." Ibu itu mulai tersenyum kembali. Ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
"Sekarang, bukalah mata Ibu." Si Ibu membuka matanya. "Apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat Ibu?" Si Ibu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sejak saat itu, si Ibu tak pernah lagi mengeluhkan karpetnya yang kotor.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder dan John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Teknik tersebut dinamai reframing - bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita, sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif.
Beberapa contoh lain pengubahan sudut pandang: Saya bersyukur:
- untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton tv, karena itu berarti ia berada di rumah bukan di bar atau kafe.
- untuk tagihan pajak yang cukup besar, karena itu berarti saya ada pekerjaan dan memperoleh gaji yang tinggi.
- untuk rasa lelah di penghujung hari, karena itu berarti saya masih mampu bekerja keras.
- untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu berarti masih ada kebebasan berpendapat.
- untuk setiap permasalahan hidup yang saya alami, karena itu berarti Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi lebih baik lagi.
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Ia lalu menemui Virginia Satir, psikolog, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan keluhan si ibu, sang psikolog berkata, "Ibu, tutuplah mata Ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan."
"Bayangkan rumah Ibu yang rapi dengan karpet bersih tanpa jejak-jejak sepatu. Bagaimana perasaan Ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum Ibu merekah. Ia tampak senang dengan gambaran yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan, "Tetapi, itu berarti tidak ada seorang pun di rumah Ibu. Tak ada suami dan anak-anak. Tak terdengar canda dan tawa mereka. Rumah Ibu sepi dan kosong, tanpa orang-orang yang Ibu cintai." Seketika, raut wajah si ibu berubah keruh.
"Sekarang, lihat kembali karpet itu. Ibu melihat jejak-jejak sepatu di sana. Artinya, suami dan anak-anak ada di rumah. Kehadiran mereka menghangatkan hati Ibu." Ibu itu mulai tersenyum kembali. Ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
"Sekarang, bukalah mata Ibu." Si Ibu membuka matanya. "Apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat Ibu?" Si Ibu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sejak saat itu, si Ibu tak pernah lagi mengeluhkan karpetnya yang kotor.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder dan John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Teknik tersebut dinamai reframing - bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita, sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif.
Beberapa contoh lain pengubahan sudut pandang: Saya bersyukur:
- untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton tv, karena itu berarti ia berada di rumah bukan di bar atau kafe.
- untuk tagihan pajak yang cukup besar, karena itu berarti saya ada pekerjaan dan memperoleh gaji yang tinggi.
- untuk rasa lelah di penghujung hari, karena itu berarti saya masih mampu bekerja keras.
- untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu berarti masih ada kebebasan berpendapat.
- untuk setiap permasalahan hidup yang saya alami, karena itu berarti Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi lebih baik lagi.
(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)
Kamis, 05 Februari 2015
Pilih yang Mana?
Dua butir telur sedang berdiskusi mau jadi apa mereka kelak. Telur pertama mengatakan, ia ingin menjadi tiram. Ia hanya diam di dalam air, makanan akan datang sendiri seiring arus laut. Ia tak perlu bersusah payah berinisiatif, mengambil keputusan, juga tidak perlu bertanggung jawab terhadap siapa pun.
Telur kedua tidak sependapat. Ia ingin menjadi elang. Ia bisa bebas pergi ke mana pun, bisa mengambil keputusan dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Seekor elang tidak mengikuti arus laut, tetapi bisa mengatur arahnya dan kadang kala malah melawan arus angin.
Kita pilih yang mana? Tiram yang hanya dapat pasrah dan merasa puas dengan keadaannya; atau elang yang bebas menentukan hidupnya?
Seorang pemenang akan berkata, "Memang tidak mudah, tetapi bisa!"
Namun, seorang pecundang akan berkata, "Memang bisa, tetapi tidak mudah!"
(Dari: Buku 85 Mutiara Hidup - Belajar Bijak dari Binatang dan Tumbuhan, karya Yustinus Sumantri Hp, S.J. Penerbit Fidei Press, 2008)
Telur kedua tidak sependapat. Ia ingin menjadi elang. Ia bisa bebas pergi ke mana pun, bisa mengambil keputusan dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Seekor elang tidak mengikuti arus laut, tetapi bisa mengatur arahnya dan kadang kala malah melawan arus angin.
Kita pilih yang mana? Tiram yang hanya dapat pasrah dan merasa puas dengan keadaannya; atau elang yang bebas menentukan hidupnya?
Seorang pemenang akan berkata, "Memang tidak mudah, tetapi bisa!"
Namun, seorang pecundang akan berkata, "Memang bisa, tetapi tidak mudah!"
(Dari: Buku 85 Mutiara Hidup - Belajar Bijak dari Binatang dan Tumbuhan, karya Yustinus Sumantri Hp, S.J. Penerbit Fidei Press, 2008)
Selasa, 03 Februari 2015
Bersikap Murni
Kemurnian kita adalah salah satu hadiah terindah yang bisa kita berikan kepada dunia. Mencapai kemurnian adalah mencapai kemahiran, sebab kita tak perlu pergi ke mana pun; hal itu selalu terjadi di tempat kita berada.
Kemurnian berarti tidak perlu lagi menghukum diri sendiri atau membuktikan diri sendiri. Begitu kita mengetahui kemurnian kita, kita terbebas dari lingkaran sakit hati dan kompensasi; kita memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk menerima dan mengundang dunia ke dalam hati kita.
Kemurnian memungkinkan kita untuk memberi hadiah terbaik dari hidup ini melalui keberadaan kita. Kemurnian menyenangkan dan yang paling penting, itu adalah hal yang sebenarnya tentang kita. Begitu kita bersedia menjalani kebenaran ini, kita menciptakan kekuatan yang menjadi sumber penyembuhan bagi dunia.
Latihan
Hari ini, coba lepaskan semua yang menghalangi kemurnian Anda. Pejamkan mata Anda dan bayangkan Anda berdiri di hadapan Yang Mahakuasa, yang tahu bahwa Anda sungguh-sungguh murni.
Sebab, Kasih hanya tahu Kasih, dan yang murni hanya tahu kemurnian. Semakin Anda murni, semakin Anda bisa memberi dan menerima seluruh cinta di sekeliling Anda.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Utama, 2013).
Kemurnian berarti tidak perlu lagi menghukum diri sendiri atau membuktikan diri sendiri. Begitu kita mengetahui kemurnian kita, kita terbebas dari lingkaran sakit hati dan kompensasi; kita memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk menerima dan mengundang dunia ke dalam hati kita.
Kemurnian memungkinkan kita untuk memberi hadiah terbaik dari hidup ini melalui keberadaan kita. Kemurnian menyenangkan dan yang paling penting, itu adalah hal yang sebenarnya tentang kita. Begitu kita bersedia menjalani kebenaran ini, kita menciptakan kekuatan yang menjadi sumber penyembuhan bagi dunia.
Latihan
Hari ini, coba lepaskan semua yang menghalangi kemurnian Anda. Pejamkan mata Anda dan bayangkan Anda berdiri di hadapan Yang Mahakuasa, yang tahu bahwa Anda sungguh-sungguh murni.
Sebab, Kasih hanya tahu Kasih, dan yang murni hanya tahu kemurnian. Semakin Anda murni, semakin Anda bisa memberi dan menerima seluruh cinta di sekeliling Anda.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Utama, 2013).
Langganan:
Postingan (Atom)