Cari Blog Ini

Senin, 25 Juli 2016

Bendahara yang Baik

Ada seorang raja yang baru saja memecat bendahara kerajaannya karena ia tidak jujur. Raja lalu mulai mencari siapa yang dapat menduduki jabatan sangat penting itu.

Setelah melalui seleksi sangat ketat, raja mengangkat seorang rakyat sederhana untuk menjabat bendahara kerajaan karena kejujuran orang itu.

Tentu saja jabatan baru ini membawa perubahan besar. Semula bendahara baru itu dan keluarganya tinggal di pondok kecil; kini sesuai kedudukannya, ia tinggal di rumah besar dan mewah, tidak kekurangan apa pun. Keadaan ini berlangsung selama kurang lebih setahun, sampai ada laporan kepada raja.

Laporan itu menyatakan, pengawal yang menjaga gedung perbendaharaan kerajaan melihat sang bendahara keluar dari gedung dengan membawa sebuah bungkusan. Hal ini bukan satu dua kali saja, tetapi setiap kali masuk dan keluar gedung perbendaharaan kerajaan, ia selalu membawa bungkusan.

Keesokan hari, raja mengeluarkan perintah untuk menangkap bendahara itu saat ia pulang kerja. Ketika dibawa menghadap raja, sang bendahara memang membawa sebuah bungkusan.

Kecurigaan raja semakin besar, ia memerintahkan agar bungkusan itu dibuka. Apa yang ada dalam bungkusan? Emas, perak, atau berlian? Ternyata, isinya hanya pakaian tua yang sudah robek. Raja sangat heran dan bertanya, "Apa maksudmu membawa pakaian itu saat masuk dan keluar gedung?"

Jawab sang bendahara, "Baginda raja, pakaian ini adalah pakaian yang dulu saya pakai sebelum baginda mengangkat saya sebagai bendahara kerajaan. Setiap kali saya masuk gedung perbendaharaan kerajaan, saya melihat begitu banyak emas, berlian, dan permata. Dengan melihat pakaian tua ini, saya selalu ingat dulu saya hanya seorang miskin. Berkat kemurahan baginda saya diangkat menjadi orang terhormat. Segala ketamakan saya hilang, berganti rasa syukur."

(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., SJ. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006)
 

Rabu, 20 Juli 2016

"Pohon" Salak

Sesudah tiga tahun berada di Indonesia, saya kenal semua buah-buahan dan pohonnya, kecuali pohon salak. Buahnya sering saya makan, tetapi pohonnya selalu luput dari pandangan saya.

Pada waktu itu saya hampir tiap minggu naik sepeda dari Yogya ke Medari. Seorang teman berkata, "Lihat saja, di kiri-kanan jalan banyak sekali pohon salak." Usaha saya bertambah, tetapi sia-sia. Semua buah lain saya lihat, salak tidak. 

Sampai pada suatu hari, seorang teman kebetulan menunjuk buah salak di pohon. Saya lega karena akhirnya berhasil melihat pohon salak. Tetapi saya jengkel kepada diri saya sendiri. Saya begitu terikat pada istilah "pohon," sehingga pandangan saya selalu diarahkan ke atas, sampai tidak melihat yang di bawah.

Ini contoh bagus untuk menerangkan perbedaan antara pengalaman dan istilah. Hampir setiap anak kecil di Indonesia melihat dan mengenal pohon dan buah salak, setelah itu baru mendengar namanya. Sebaliknya, saya yang tidak pernah mengalami pohon salak, mulai dengan mendengar istilah "pohon" salak, lalu mencari realitas yang sesuai dengan istilah itu.

Bagi saya, "pohon" adalah sesuatu yang tinggi, maka saya mencari di atas. Andaikan istilahnya "semak" salak, pasti saya mencari di bawah.

Kalau harus memilih antara kenyataan konkret atau istilah abstrak, tentu selalu untung memilih yang konkret.
 
(Dari: Buku Hidup itu Kadang Lucu - Hikmat 100 Kisah Jenaka, karya Siegfried Zahnweh, S.J. Penerbit Dioma, 2006) 

Rabu, 13 Juli 2016

Rahasia Kehidupan

Rahasia kehidupan bukan terletak pada apa yang terjadi pada diri Anda, tetapi apa yang Anda lakukan dengan apa yang terjadi pada diri Anda.


(Dari: Buku Berpikir Positif Setiap Hari, karya Norman Vincent Peale. Penerbit Interaksara, 2001)
 

Senin, 04 Juli 2016

Dunia Tanpa Cinta

Seorang dokter ahli jiwa pernah ditanya, "Bagaimana cara mendidik orang agar mampu mencinta?" Jawabnya sungguh menarik, "Apakah kamu pernah sakit gigi? Sewaktu kamu sakit gigi, siapakah yang kamu pikirkan?"

Maksudnya jelas. Sewaktu kita sakit, meskipun hanya sakit gigi yang bersifat sementara, bukankah kita memikirkan diri kita sendiri saja?

Kata dokter itu lebih lanjut, "Dunia kita sekarang adalah dunia yang penuh kepahitan. Kepedihan yang tertanam di hati manusia bukan seperti sakit gigi saja. Kita pergi tidur di malam hari dan bangun di pagi hari dengan kepedihan. Kepedihan yang terlalu dalam tak jarang membuat orang menderita sakit jiwa. Di Amerika Serikat, umpamanya, dua per tiga dari tempat tidur di rumah sakit diisi oleh penderita penyakit jiwa. Jumlah bunuh diri pada umur 18-21 tahun tidak sedikit."

Dunia kita penuh kepahitan, dunia tanpa cinta. Kebanyakan manusia begitu penuh perhatian kepada diri sendiri, sehingga sulit keluar dari dirinya dan mencinta dengan sepenuh hati.
 
(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., SJ. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006)