Cari Blog Ini

Minggu, 23 Februari 2014

Mengambil Keputusan

Mantan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan (1911-2004), menceritakan pengalaman yang membuatnya sejak dari muda belajar mengambil keputusan-keputusan yang mantap dan tegas.

Salah seorang bibinya mengajak Reagan menemui tukang sepatu untuk membuatkan Reagan sepatu. Tukang sepatu bertanya kepadanya, "Kamu ingin sepatu yang ujungnya persegi atau bulat?"

Reagan muda berbicara tak jelas dan ragu-ragu. Maka, tukang sepatu berkata, "Kembalilah satu atau dua hari lagi, beritahu saya nanti apa yang kamu inginkan."

Beberapa hari kemudian, tukang sepatu melihat Reagan di jalan dan bertanya apakah Reagan sudah mengambil keputusan untuk sepatunya. "Saya belum bisa memutuskan," ujar Reagan. "Bagus sekali. Sepatumu akan selesai besok," tanggap tukang sepatu.

Keesokan hari, Reagan menerima sepatunya: yang satu berujung bulat dan yang lain berujung persegi!

"Melihat sepasang sepatu itu setiap hari, memberi pelajaran buat saya: jika Anda tidak mengambil keputusan sendiri, orang lain akan mengambil keputusan untuk Anda."

(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat - Untuk Pemimpin, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)

Kamis, 20 Februari 2014

Pohon Ek atau Labu?

Ketika James Garfield, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, menjabat sebagai kepala sekolah di Akademi Hiram, Ohio, seorang ayah menanyakan apakah masa belajar anaknya dapat dipersingkat, sehingga sang anak bisa  menyelesaikan pendidikan lebih cepat.

"Tentu saja," jawab Garfield. "Tetapi itu semua tergantung pada apa yang Anda inginkan bagi putra Anda. Ketika Tuhan membentuk pohon ek, Ia butuh waktu 100 tahun. Ketika Ia menciptakan pohon labu, Ia hanya butuh waktu 2 bulan."

Tak ada pengganti karakter. Anda bisa membeli otak, tetapi tidak bisa membeli karakter.

(Dari: Buku 100 Kisah Karakter - Ilustrasi & Renungan yang Membangun Iman Anda, karya Djohan Handojo. Penerbit Light Publishing, 2013) 
  

Senin, 17 Februari 2014

Tusuk Gigi dan Jeruk

Menara London yang menjulang tepi di Sungai Thames, merupakan sebuah desa kecil di dalam tembok-tembok yang tidak bisa ditembus. Tempat itu pernah menjadi istana, benteng, dan yang lebih mengerikan - penjara. Di sini, John Gerard, seorang pastor Jesuit muda, pernah ditahan karena imannya semasa pemerintahan Ratu Elisabeth I.

Setelah tiga tahun Gerard ditahan di penjara Clink, ia dipindah ke Menara London. Di salah satu bangunan dalam Menara London yang bernama Menara Putih, Gerard ditahan. 

Menara Putih berbentuk kubah yang dalam, tanpa pintu dan jendela. Di sini, dalam kelap-kelip cahaya obor, Gerard digantung di tangannya selama berjam-jam, hari demi hari. Lengannya bengkak, seluruh tubuhnya sakit. Tangannya rusak, sampai ia tak bisa makan sendiri.

Kemudian siksaan dihentikan. Pastor Gerard mulai melatih jari-jarinya. Setelah tiga minggu, ia bisa makan sendiri. Segera saja ia minta dibawakan tusuk gigi dan jeruk.

Tusuk gigi menjadi pena dan air jeruk menjadi tinta yang hanya terlihat bila dipanaskan. Gerard mulai membuat rencana meloloskan diri dengan menyelundupkan pesan-pesannya yang tidak terlihat kepada teman-temannya.

Tanggal 5 Oktober 1597, Gerard memanjat kubah ke atapnya. Dengan tali tambang yang diselundupkan, ia meluncur menuruni kubah. Teman-temannya segera membawanya ke tempat persembunyian di luar London.

Ia meloloskan diri ke Italia dan bekerja di Roma sampai wafat di usia 73 tahun. Namanya dikenal sebagai salah satu dari sejumlah kecil orang yang berhasil lolos dari Menara London.

Anda dan saya mungkin memiliki sumber-sumber yang sangat terbatas: mungkin hanya tusuk gigi dan air jeruk, mungkin hanya lima batu kali, mungkin hanya bekal makan siang sederhana berisi lima roti dan dua ikan. Tetapi, janganlah mengecilkan kecerdikan yang diberikan Tuhan, kekuatan hati yang penuh tekat, dan bantuan dari Atas.

(Dari: Buku Real Stories for the Soul jilid ke-2, karya Robert J. Morgan. Penerbit Gospel Press, 2003)

Selasa, 11 Februari 2014

Lebih Baik Difitnah


Seorang pujangga bernama Tasso mendengar kabar dari temannya bahwa seseorang telah menyebarkan gosip tentang dirinya.

Tasso menanggapi, "Saya tidak terganggu dengan hal itu. Lebih baik ia berbicara jahat mengenai saya kepada seluruh dunia, daripada seluruh dunia berbicara jahat mengenai saya kepadanya."

Kelimpahan sejati dimulai dari hati. Seseorang yang memiliki hati yang luas, hidupnya diwarnai kasih dan pengampunan.

(Dari: Buku 100 Kisah Karakter - Ilustrasi & Renungan yang Membangun Iman Anda, karya Djohan Handojo. Penerbit Light Publishing, 2013) 
  

Minggu, 02 Februari 2014

Menemukan Makna Hidup

R. Buckminster Fuller
Ia dikeluarkan dari perguruan tinggi dan berbagai upaya bisnisnya gagal. Kini, ia berdiri di tepi Danau Michigan di tengah sapuan angin pada suatu malam di musim dingin. 

Pria berusia 32 tahun itu melihat langit di atas untuk terakhir kali seraya bersiap melemparkan diri ke dalam air yang siap membekukan.

Suasana sangat mencekam. Ia merasakan semburan ketakjuban saat melihat ke langit berbintang. "Kamu tidak berhak menghabisi diri sendiri. Kamu bukanlah milikmu," suara dalam hati membakarnya.

Richard Buckminster Fuller (1895-1983) berjalan meninggalkan danau itu dan memulai dari awal. Ia mengawali suatu perjalanan yang membawanya ke berbagai karier sebagai insinyur, arsitek, matematikawan, penemu, penyair, dan kosmolog.

Ia berhasil memenangi lusinan gelar kehormatan dan sekali nominasi hadiah Nobel. Fuller menulis dua lusin buku, berkeliling dunia 57 kali, dan membagikan impian-impiannya kepada jutaan orang.

Penemu kubah geodesik ini muncul dalam kuliah-kuliah yang terkadang berlangsung sampai 3-4 jam. Topik-topik kuliahnya mulai dari pendidikan sampai asal-usul kehidupan.

Hari ketika Fuller berjumpa dengan harapan adalah hari ketika ia mulai menemukan makna hidupnya. Selalu ada alasan untuk berharap. Harapan memberi kita kekuatan untuk bergerak maju.

(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat untuk Pemimpin, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)