Cari Blog Ini

Senin, 25 November 2013

Membuka Jalan

Oliver Goldsmith (1728-1774) adalah putra seorang pengkhotbah miskin. Ia dianggap anak yang sensitif, tetapi kurang waras. Kepala sekolahnya menjuluki Oliver "anak bodoh." 

Oliver meraih gelar sarjana, walaupun lulus sebagai juru kunci di kelasnya. Ia ditolak menjadi pengkhotbah. Menjajal bidang hukum, di sini pun ia ditolak. Ia meminjam pakaian untuk mengikuti ujian menjadi asisten di rumah sakit, tetapi gagal juga.  

Oliver hidup dalam kemiskinan, sering sakit, bahkan pernah menggadaikan pakaiannya untuk membeli makanan. Satu hal yang ingin ia lakukan lebih dari segalanya adalah menulis. Ia lalu membuka jalan baru dalam kehidupannya.

Ia melesat meninggalkan masa lalunya, menjadi sejajar dengan para penulis besar sepanjang masa. Novel terkenalnya The Vicar of Wakefield ditulis tahun 1766. Kadangkala sebuah jalan terbuka lebar bagi Anda. Namun, kali lain Anda harus membuka jalan sendiri.

Janganlah pergi ke mana suatu jalan menuju - melainkan pergilah ke mana tidak ada jalan dan tinggalkanlah jejak.

(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat untuk Pemimpin, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)    

Kamis, 21 November 2013

Mengetahui yang Dapat Diabaikan

The Mysterious Island, sebuah novel karya Jules Verne, berkisah tentang lima pria yang melarikan diri dari sebuah kamp penjara Perang Sipil dengan membajak sebuah balon udara.

Segera mereka menyadari, angin membawa mereka ke atas laut. Seiring berlalunya waktu, mereka melihat garis cakrawala menjauh. Mereka juga sadar, balon terbang merendah.

Karena mereka tak dapat memanaskan udara dalam balon supaya balon itu kembali naik, mereka mulai melemparkan beberapa barang untuk mengurangi kelebihan berat. Sepatu, mantel, dan senjata dibuang dengan berat hati. Namun, mereka gembira karena balon itu mulai naik kembali.

Tak lama kemudian, mereka terancam bahaya lagi, karena mendekati ombak di laut. Mereka mulai melemparkan makanan. Lebih baik melayang tinggi, meski perut lapar.

Tetapi, untuk ketiga kalinya, balon itu mulai turun. Kali ini, salah satu dari mereka mengajukan usul untuk mengikat jadi satu tali-tali yang menghubungkan balon dengan keranjang di mana mereka berdiri. Mereka akan duduk di tali-tali itu, sementara keranjang yang berat akan dipotong. Tempat mereka berpijak di balon itu jatuh melayang, balon mulai meninggi lagi.

Tiba-tiba mereka melihat daratan. Segera mereka melompat ke air, berenang menuju sebuah pulau. Nyawa mereka selamat bukan lantaran tindakan kepahlawanan, melainkan karena mereka mengetahui tanpa apa mereka dapat bertahan hidup dan apa yang mereka dapat abaikan.

Menjadi bijak adalah mengetahui apa yang dapat diabaikan.

(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat untuk Pemimpin, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)
  

Senin, 18 November 2013

Tetap Bertahan

George Jones (1811-1891), jurnalis, mengawali karier sebagai pegawai di sebuah toko tembikar. Ia segera memperoleh reputasi sebagai karyawan yang cemerlang dan ambisius - pemuda yang memiliki kebiasaan kerja yang baik dan berperilaku santun.

Namun, sifat yang paling dirujuk orang-orang ketika memuji Jones adalah kejujurannya. Reputasi itulah yang menarik perhatian Henry J. Raymond, jurnalis kondang. Mereka lalu mendirikan harian The New York Times.

Jones terus mempertahankan reputasinya. Loyalitasnya kepada Raymond dan kejujurannya sebagai pengusaha membuahkan nama baik di New York City.

Suatu kali, The New York Times memulai kampanye menentang William "Boss" Tweed, politisi dan anggota dewan, serta dinastinya yang korup. Jones menerima tawaran suap sebesar US$500.000 - jumlah yang besar pada waktu itu - dari para sekutu Tweed. Yang harus dilakukan Jones hanyalah mengundurkan diri, pergi ke Eropa.

"Anda dapat hidup seperti pangeran sepanjang hari-hari Anda seterusnya," kata orang yang memberikan tawaran itu. "Ya, tetapi setiap hari saya akan  mengenal diri saya sebagai seorang bajingan," Jones menanggapi.

Hati nurani yang bersih tidak dapat dibeli. Itulah yang membuatnya dihargai sangat tinggi. Menjaga hati nurani tetap bersih adalah semudah memutuskan untuk memiliki hati nurani yang bersih.

Putuskanlah untuk tidak membiarkan tawaran-tawaran yang menggoda itu memengaruhi Anda. Saat Anda melakukannya, yakinlah Tuhan ada untuk memberi Anda kekuatan mengatasi godaan apa pun.

Ada satu hal yang tetap bertahan dalam menghadapi keadaan hidup terburuk: hati nurani.

(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat untuk Pemimpin, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)

Kamis, 14 November 2013

Kepuasan

Bud Robinson (1860-1942), pengkhotbah terkenal asal Amerika Serikat, diajak teman-temannya ke New York. Ia diantar berkeliling kota. 

Malam itu dalam doanya, Bud berkata, "Tuhan, terima kasih Engkau telah mengizinkan aku melihat semua pemandangan New York. Dan terutama aku berterima kasih kepada-Mu, karena aku tidak melihat satu hal pun yang aku inginkan."

Kepuasan bukan soal memiliki segala sesuatu yang kita inginkan,
tetapi soal tidak menginginkan segala sesuatu yang kita lihat.

(Dari: Buku Real Stories for the Soul jilid ke-1, karya Robert J. Morgan. Penerbit Gospel Press, 2003)


Senin, 11 November 2013

Penyakit Keakuan

Pelatih bola basket Pat Riley dalam bukunya The Winner Within menceritakan tentang tim bola basket sohor Los Angeles Lakers (LA Lakers). Tim ini memenangi kejuaraan NBA tahun 1980 dan dikenal sebagai tim bola basket terbaik di dunia.

Di musim kompetisi 1980-1981, LA Lakers berharap mempertahankan gelar juara. Tetapi, baru beberapa minggu bermain, pembungkus tulang lutut Magic Johnson terkoyak. Ia perlu pemulihan tiga bulan.

Tanpa Magic Johnson sebagai pemain andalan, LA Lakers bermain sekuat tenaga. Mereka berhasil memenangi 70 persen pertandingan. Semakin dekat waktu bagi Magic Johnson untuk beraksi kembali.

Publikasi tentang akan kembalinya Magic Johnson kian gencar. "Jangan lupa menandai kalender Anda di tanggal 27 Februari. Magic Johnson akan kembali memperkuat juara dunia LA Lakers!" kata pembawa acara berulang kali.

Hari tersebut semakin dekat. Seluruh perhatian media terpusat pada satu pemain yang belum melakukan apa-apa dalam kompetisi itu. Sedangkan perjuangan para anggota LA Lakers yang lain semakin sedikit diulas.

Tibalah tanggal 27 Februari. Saat memasuki pintu arena, setiap orang dari 17.500 pemegang tiket memperoleh pin bertuliskan "The Magic is Back!" Sedikitnya 50 juru foto pers berkerumun di tepi lapangan. Magic Johnson bagaikan dewa yang turun kembali ke bumi.

Para pemain yang selama tiga bulan menopang LA Lakers sama sekali tidak diacuhkan. Mereka begitu kesal sampai nyaris tidak ingin memenangkan pertandingan melawan tim yang tidak diunggulkan.Semangat tim hancur. Para pemain saling menyalahkan. Pelatih dipecat. Akhirnya, mereka kehilangan seri pembukaan play-off, salah satu rekor paling menyedihkan yang pernah terjadi.

"Karena ketamakan, kepicikan, dan kejengkelan, kami mengalami salah satu keruntuhan kejayaan yang paling cepat dalam sejarah NBA," tulis Riley, "Itulah akibat penyakit keakuan."

(Dari: Buku Real Stories for the Soul jilid ke-1 - Kisah-kisah Sejati bagi Jiwa, karya Robert J. Morgan. Penerbit Gospel Press, 2003)
 

Sabtu, 09 November 2013

Melihat secara Berbeda

Stephen R. Covey (1932-2012) menulis dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People tentang pengalamannya di kereta api bawah tanah New York. Hari itu Minggu pagi, para penumpang duduk diam, terkantuk-kantuk, membaca surat kabar, beberapa di antaranya melamun. Adegan damai itu berubah, ketika seorang pria dan anak-anaknya mendadak naik. Anak-anak berbuat gaduh, mereka mengganggu seluruh gerbong.

Pria itu duduk di sebelah Covey, tampak tidak peduli dengan situasi tersebut. Anak-anaknya berteriak, melemparkan benda-benda, dan bahkan menyambar surat kabar penumpang lain. Sangat mengesalkan, tetapi sang ayah tidak berbuat apa-apa.

Covey berusaha mengatasi rasa jengkelnya. Tetapi, saat kekacauan semakin parah, akhirnya ia menoleh dan berkata, "Pak, anak-anak Anda benar-benar mengganggu banyak orang. Apakah Anda bisa sedikit mengendalikan mereka?"

Pria itu mengangkat kepala, seolah-olah baru sadar, kemudian berkata perlahan, "Oh, Anda benar. Seharusnya saya melakukan sesuatu. Kami baru pulang dari rumah sakit, ibu mereka meninggal sekitar satu jam lalu. Saya tidak tahu harus berbuat apa, dan saya kira mereka juga tidak tahu bagaimana harus menghadapinya."

Belakangan Covey menulis, "Bisakah Anda membayangkan perasaan saya saat itu? Paradigma saya bergeser. Tiba-tiba saya melihat semuanya secara berbeda. Karena saya melihat secara berbeda, maka saya berpikir secara berbeda, saya merasa secara berbeda, dan saya berperilaku secara berbeda. Kekesalan saya lenyap... hati saya dipenuhi kepedihan pria itu. Rasa simpati dan belas kasih mengalir bebas... Semuanya berubah dalam sekejap."

(Dari: Buku Real Stories for the Soul jilid ke-1 - Kisah-kisah Sejati bagi Jiwa, karya Robert J. Morgan. Penerbit Gospel Press, 2003)  

Kamis, 07 November 2013

Daya Tahan yang Sabar

"Bangkitlah!" demikian tulisan di sebuah stiker besar. "Bersuka citalah, biarpun tanpa alasan," tulis stiker besar yang lain.

Mudah bagi stiker-stiker itu berbicara. Tetapi, bagaimana dengan kehidupan nyata, di mana ada penderitaan, kesengsaraan, dan kekecewaan?

Seorang penyair yang sinis merangkum kenyataan hidup yang keras dengan mengatakan, "Belum pernah ada seorang filsuf yang dapat menahan sakit gigi dengan sabar." Apa maksudnya?

Daya tahan yang sabar, itulah yang kita perlukan dalam melalui masa-masa sulit. Daya tahan yang sabar bersama dengan sukacita yang utuh, akan mendatangkan rahmat secara misterius.

(Dari: Buku Finding Peace of Heart - Menemukan Kedamaian Hati, karya Linus Mundy. Penerbit Kanisius, 2005)

Mati untuk Hidup

Sebuah iklan di jendela usaha dry cleaning dan pencelupan: 

We dye to live, we live to dye.
The more we dye, the more we live.
And the more we live, the more we dye.

Kata dye yang berarti mencelup, diucapkan sama dengan die atau mati. Kalau dye dibaca sebagai die, maka terjemahannya menjadi:

Kami mati untuk hidup, kami hidup untuk mati.
Semakin kami mati, semakin kami hidup.
Dan semakin kami hidup, semakin kami mati.

Ketika James Calvert (1813-1892) berangkat menjadi misionaris bagi orang-orang kanibal di Kepulauan Fiji, kapten kapal yang membawanya berusaha membujuk untuk membatalkan niatnya. "Kau akan kehilangan nyawa kalau kau pergi ke tengah orang-orang liar seperti itu," ujar kapten kapal.

Calvert hanya menjawab, "Kami telah mati sebelum kami datang ke sini."

(Dari: Buku Real Stories for the Soul jilid ke-1 - Kisah-kisah Sejati bagi Jiwa, karya Robert J. Morgan. Penerbit Gospel Press, 2003)