Cari Blog Ini

Senin, 30 September 2013

Doa

Tanpa pertolongan, hatiku bagaikan tanah liat yang tandus; yang dari kodratnya sendiri tak bisa memberi makan. 

Engkaulah benih pekerjaan yang baik dan saleh, yang memperlihatkan tanda-tanda kehidupan hanya di mana Engkau menghendakinya. 

Seandainya Engkau tidak menghantar kami ke jalan-Mu yang sejati, tak ada manusia yang bisa menemukannya: Tuhan, pimpinlah kami.

     - Michaelangelo (1495-1564), pelukis, pemahat, pujangga asal Italia 

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Yang Paling Berbahagia


Sudah beberapa bulan ini tak ada lagi kedamaian di hutan. Berawal dari perbedaan pendapat sederhana antara teman-teman lama, menjalar menjadi konflik berskala penuh yang melibatkan semua hewan di hutan.

Awalnya, tupai mengatakan kepada serigala bahwa dari semua makhluk di hutan, ia hewan paling berbahagia. “Tak mungkin,” balas serigala dengan marah. “Aku yang paling bahagia!” Serigala lalu memberitahu pertengkaran itu kepada sigung.

Tentu saja, sigung mencibir bahwa serigala lebih berbahagia darinya. Mereka lalu terlibat pertengkaran yang menarik perhatian seekor burung berbulu abu-abu dan seekor burung pelatuk. Sejenak kemudian, keempat hewan bertengkar mengenai siapa yang paling berbahagia. Dari sanalah konflik menyebar.

Solomon, burung hantu tua yang bijak di hutan itu, tak berminat terlibat dalam perdebatan kekanak-kanakan yang sering kali meletup di antara kawan-kawannya. Tetapi, ia ingin membereskan masalah itu dan ia tahu siapa yang paling bahagia dari semua makhluk ciptaan di hutan tersebut.

Solomon lalu memanggil semua hewan di hutan untuk menghadiri sidang perdamaian istimewa. Pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, mereka hadir. “Jangan-jangan, tak satu pun di antara kalian semua yang ada di sini sama seperti yang kalian katakan,” ujar Solomon. “Sebab, yang paling bahagia dari antara kalian, tidak bersama kita hari ini,” lanjutnya.

Suasana sepi tetapi tegang menyelimuti sidang itu. “Kalau begitu, katakan kepada kami, menurut pendapatmu siapa yang paling berbahagia dari antara kita?” terdengar satu teriakan. Solomon berhenti sejenak, kemudian berkata, “Kalian semua mengenalnya. Ia adalah Abraham, si kura-kura tua dari Lembah Timur.”

“Apa!” jerit salah satu dari burung-burung gagak. “Katakan, apa yang bisa membuat Abraham sangat mungkin berbahagia, sementara kami tidak?” Solomon menjawab seraya tersenyum, “Tidak peduli bahaya dalam perjalanan yang ditempuhnya, tanpa memandang cuaca, atau apa pun tantangan yang bakal dijumpai sepanjang perjalanan, rumah Abraham selalu bersamanya.”

Cerita di atas lebih daripada sekadar metafora dengan tambahan nilai rohani. Kura-kura yang selalu membawa rumahnya ke mana pun ia pergi – mengingatkan kita akan kerinduan rohani kita yang terdalam: mampu menghadapi masalah apa pun yang menghadang jalan kita tanpa rasa takut, karena kekuatan yang kita perlukan telah menjadi bagian dari diri kita. Sumber surgawi dari Yang Kudus ini hidup dan tinggal di dalam diri kita. Jati diri kita sesungguhnya adalah sebagian dari cahayaNya yang abadi. 

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Minggu, 29 September 2013

Life is Beautiful


Kalau Anda pernah menonton film Life is Beautiful (La Vita est Bella), pasti Anda akan sepakat: hidup memang indah. Mengambil setting di Italia pada awal Perang Dunia II, film ini bercerita tentang seorang lelaki bernama Guido Orefice yang sangat menikmati hidupnya. Terlepas dari masalah apa pun yang dihadapinya, ia tak lupa bernyanyi dan menari. Padahal, dunia di luar sana tak terlalu bersahabat. Pada masa itu orang-orang keturunan Yahudi dimusuhi dan diperlakukan tak layak.

Suatu ketika, Guido, istri, dan anak lelakinya Joshua, ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi Nazi. Guido sadar apa yang dihadapinya, tetapi ia tak mau larut dalam kesedihan. Ia tak ingin putranya yang berusia 6 tahun tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Karena itu, ia mengarang cerita kepada Joshua, bahwa mereka sedang melakukan permainan. Semua yang ada di kamp itu, baik orang-orang Yahudi maupun tentara-tentara Jerman adalah para pemainnya. Mereka harus mengikuti peraturan amat ketat, kalau ingin memenangi hadiah pertama, yaitu mobil tank sungguhan. Film ini berakhir dengan kalahnya tentara Jerman. Guido meninggal ditembak Nazi, tetapi istri dan anaknya selamat. Joshua bahkan mendapat “hadiah,” yaitu naik tank tentara Amerika.

Bagi saya, film yang mendapat 3 penghargaan Academy Awards dan 56 penghargaan internasional ini memberi pelajaran amat berharga tentang kepemimpinan. Kita sering keliru memahami kepemimpinan dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan. Padahal, kepemimpinan adalah mengenai kita sendiri. Setiap kita sesungguhnya adalah pemimpin. Dan esensi tertinggi dari kepemimpinan adalah mencapai hidup damai dan bahagia.

Seperti dicontohkan Guido, menikmati hidup mestinya tidak sulit. Namun, mengapa banyak orang sulit menikmati hidup? Ini berkaitan dengan “jendela” yang kita gunakan dalam memandang kehidupan. Penyebabnya adalah lima keyakinan atau paradigma yang salah.

Pertama, keyakinan bahwa Anda tidak dapat bahagia tanpa hal-hal yang Anda pandang bernilai dan yang membuat Anda terikat. Anda senantiasa merasa kekurangan. Anda merasa akan lebih bahagia kalau memiliki uang lebih banyak, rumah lebih besar, mobil lebih bagus, dan sebagainya. Padahal, masalah sebenarnya: Anda tidak bahagia karena lebih memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang tidak Anda miliki, bukannya pada apa yang Anda miliki sekarang.

Kedua, Anda percaya bahwa kebahagiaan ada di masa depan. Kapan Anda bahagia? Nanti, kalau sudah jadi manajer, kata Anda. Persoalannya, saat menjadi manajer, tugas Anda bertambah banyak. Anda belum bahagia juga. Kebahagiaan Anda letakkan di tempat yang jauh, sebenarnya kebahagiaan berada sangat dekat dan dapat Anda nikmati di sini, sekarang juga.

Ketiga, Anda tidak bahagia karena selalu membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain. Saya pernah bertemu seorang eksekutif yang berkali-kali pindah kerja hanya karena kawan akrabnya semasa kuliah memperoleh penghasilan yang lebih besar darinya. Sampai suatu saat, ia sadar tak ada gunanya “mengejar” sahabat karibnya.

Keempat, Anda percaya bahwa kebahagiaan akan datang bila Anda berhasil mengubah situasi dan orang-orang di sekitar Anda. Anda perlu menyadari, sangat sulit mengubah orang lain. Walau demikian, silakan saja kalau Anda ingin meneruskan niat Anda mengubah dunia. Namun, jangan tempatkan kebahagiaan Anda di sana. Jangan biarkan situasi, lingkungan, dan orang-orang di sekitar Anda membuat Anda tidak bahagia. Kalau Anda tidak dapat mengubah mereka, yang perlu Anda ubah adalah diri Anda sendiri.

Kelima, keyakinan bahwa Anda akan bahagia kalau semua keinginan Anda terpenuhi. Padahal, target-target itu membuat kita tegang, frustasi, cemas, dan takut. Terpenuhinya keinginan Anda hanya akan membawa kesenangan sesaat, itu tidak sama dengan kebahagiaan.

Kebahagiaan berada di dalam hati kita, bukannya di luar sana. Oliver Wendell Holmes, penulis asal Amerika Serikat, mengungkapkannya dengan sangat baik: “Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita adalah persoalan kecil, dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kita.”  

(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
 

Percaya dan Memahami

Pemahaman adalah buah dari iman. Karena itu, jangan berusaha memahami supaya engkau percaya, melainkan percayalah maka engkau akan memahaminya. 



                                                      - St. Augustinus (354-430)

Sabtu, 28 September 2013

Keberanian untuk Melepaskan

Setiap tahap kehidupan, dari masa kanak-kanak ke pernikahan, dan usia lanjut, membutuhkan semacam penyerahan atau kerelaan untuk melepaskan. Lihatlah anak-anak yang bermain layang-layang di tanah lapang. Layang-layang tak mungkin dapat terbang tinggi, kalau ia tidak dilepaskan.

Demikian juga dalam hidup sehari-hari. Ada saatnya kita harus melepaskan sesuatu, agar dapat maju. Orang yang tetap berpegang pada masa lampau, dapat menjadi lumpuh dalam hidupnya. 

Keberanian untuk melepaskan dapat membebaskan kita dari kesalahan. Dengan melepaskan, kita pun membebaskan orang lain. Seekor burung harus terbang melanglang angkasa raya, tak hanya mendekam dalam sarang. Air sungai menurut hakikatnya harus terus mengalir. 

(Dari: Buku Waktu - Seri Hari Ini 004, karya Abba Tresnanto. Penerbit Nusa Indah, 1984)

Tak Rela Berkorban


Fenomena yang aneh: Orang-orang rela mati demi kemerdekaan dunia, tetapi tak rela sedikit pun berkorban demi membebaskan mereka dari perbudakan diri sendiri.

         - Bruce Barton (1886-1967), penulis dan politisi asal Amerika Serikat


(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
 

Kamis, 26 September 2013

Mengeja Persahabatan

Bagaimana Anda mengeja Persahabatan (FRIENDSHIP)?

Forgive (Saling memaafkan)
Refresh (Saling menyegarkan)
Invest (Saling berinvestasi)
Encourage (Saling menyokong)
Nurture (Saling memelihara)
Depend (Saling bergantung)
Share (Saling berbagi)
Help (Saling menolong)
Inspire (Saling menginspirasi)
Pray (Saling mendoakan) 

(Dari: Buku Harga Tak Ternilai Seorang Sahabat, karya John C. Maxwell. Penerbit Light Publishing, 2010)

Pencipta Impian

"Tak semua orang tahu seperti apa sahabat sejati yang baik," kata Joni Loughran dari Petaluma, California. Tetapi ia tahu. Di kelas dua SMA, Joni bertemu Patty McNamara. Mereka langsung mengalami ikatan istimewa yang sulit dijelaskan. Patty gadis ramah, lincah, dan disukai banyak orang. Sebaliknya, Joni pendiam, banyak merenung, dan pemalu. 

Suatu malam, saat kedua gadis itu merenungi persahabatan, mereka berjanji, "Jika sesuatu terjadi pada salah satu dari kami, yang lain akan mengikuti," kenang Joni. Mereka masih berhubungan akrab selepas SMA, sampai Patty pindah kota. 

Di usia 23 tahun Joni menikah dalam upacara singkat yang hanya dihadiri keluarganya. Ia tak sabar menceritakan kepada Patty dalam obrolan panjang lewat telepon jarak jauh. Tetapi seminggu setelah pernikahannya, ia menerima kabar dari kakak Patty bahwa Patty meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Joni merasa sebagian dirinya ikut mati. Minggu-minggu berikutnya benar-benar menyiksa. Ia berduka sendirian, karena tak mudah mengungkapkan perasaan kepada orang lain.

Suatu malam, beberapa minggu setelah Patty meninggal, Joni terbangun dengan perasaan ada sesuatu. Ia baru saja bermimpi, entah mengapa, ia tahu mimpi itu penting. "Seorang malaikat memberitahu saya dengan sangat jelas, Patty ingin saya tahu ia baik-baik saja. Saya akan bertemu lagi kelak, tetapi saya tidak akan pergi bersamanya sekarang," kata Joni. Kata utusan itu, Joni perlu tinggal di dunia karena ia harus membesarkan anak laki-lakinya.

Beberapa hari kemudian, Joni mendatangi dokter. Memang benar ia mengandung, walaupun saat itu belum tampak gejala-gejala kehamilan. Sembilan bulan berselang, lahirlah Travis, putranya.

Setelah 20 tahun berlalu, Joni mengaku masih berhubungan dengan Patty lewat mimpi. "Mimpi-mimpi saya belakangan ini kebanyakan berhubungan dengan situasi hidup saya, seperti Patty datang ke wisuda anak saya atau Patty ke rumah baru saya. Patty tampak tetap sama. Ia tidak bertambah tua," tutur Joni.

Patty berjanji akan bertemu dalam mimpi-mimpi Joni, dan ia menepati janji itu. Bagaimana caranya? Joni tak tahu pasti. "Saya kira kebutuhan untuk pertemuan-pertemuan kami lahir di suatu tempat di luar alam sadar saya. Itulah tempat yang menanggapi kerinduan di dalam hati, melampaui ruang dan waktu, sebuah pelabuhan untuk pertemuan roh yang sangat mirip dengan sorga," ungkap Joni.

(Dari: Buku Keajaiban dari Sorga - Kisah-kisah yang memberi kesaksian akan keberadaan sorga, karya Joan Wester Anderson. Penerbit Gospel Press, 2002)
 

Kemuliaan Persahabatan

Kemuliaan persahabatan bukanlah dalam tangan yang diulurkan, senyuman yang ramah, atau sukacita pertemanan; melainkan inspirasi spiritual yang datang kepada seseorang, ketika ia menemukan bahwa orang lain percaya kepadanya dan bersedia memercayainya.

                 - Ralph Waldo Emerson (1803-1882), penyair dan dosen asal Amerika Serikat

(Dari: Buku Harga Tak Ternilai Seorang Sahabat, karya John C. Maxwell. Penerbit Light Publishing, 2010)
 

Rabu, 18 September 2013

Berbicara dan Mendengarkan dalam Keheningan


Kebanyakan dari kita sudah memiliki pola tertentu dalam berbicara, mendengarkan, dan berdialog. Kita memiliki gagasan tertentu untuk disampaikan dan merasa tahu apa yang hendak dikatakan orang lain.

Kita sudah terbiasa menilai dan membuat kesimpulan tentang orang lain. Kita menafsir kata-kata menurut pikiran kita, merekam makna di balik intonasi nada, menafsir bahasa tubuh, cepat membuat penilaian, dan menarik kesimpulan.

Pola dialog yang digerakkan oleh persepsi pikiran tidak membawa orang kepada pemahaman akan masalah secara utuh. Tidak ada kejernihan, penghargaan timbal-balik, persahabatan yang tulus, keterbukaan, pemahaman akan motif-motif tersembunyi, nilai-nilai, keinginan, ketakutan, harapan-harapan.

Sebaliknya, jika dialog berlangsung tanpa reaksi-reaksi dan prediksi-prediksi mental, terbuka luas kemungkinan akan pemahaman yang mendalam dari kedua pihak.

Betapa sering kita terbiasa mendengarkan dan berbicara dari memori. Bisakah kita berbicara dan mendengarkan bukan sebagai reaksi memori, bukan sebagai kebiasaan, kecuali untuk mengingat bahasa atau rekaman teknis di otak kita, agar kita bisa berkomunikasi? Apakah Anda bisa mendengarkan teman bicara Anda, seolah-olah Anda baru mendengarkan ia untuk pertama kalinya, tanpa respons memori?

Berbicara dan mendengarkan merupakan dua proses yang tak terpisahkan. Ketika tidak ada proses menamai, tiada reaksi memori, maka ada kemungkinan indra bekerja secara utuh. Bukan hanya mulut yang berbicara dan telinga mendengar, tetapi keseluruhan indra kita bangun.

Ketika gambaran-gambaran masa lampau, penilaian, kesimpulan, keinginan, ketakutan, dan harapan tidak mengintervensi, maka tidak ada keterpisahan antara pembicara dan pendengar. Dalam kesatuan seperti ini, komunikasi intens dalam keheningan memungkinkan pemahaman  menyeluruh terhadap sesuatu. 

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma hal. 149-151, 154, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)