Cari Blog Ini

Senin, 29 Juli 2013

Nilai Sejati

Nilai sejati seorang manusia bisa ditemukan dalam kadar seberapa besar ia telah memperoleh pembebasan dari dirinya.

              - Albert Einstein (1879-1955), fisikawan terbesar abad ke-20 

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
 

Dari Kewajiban Menjadi Kebutuhan

Pendekatan terhadap puasa sekadar sebagai kewajiban, menurut saya kurang tepat. Benar bahwa berpuasa itu hukumnya wajib. Tetapi, coba kita pikirkan secara mendalam, apa yang terkandung di balik kata "kewajiban"? Ada sebuah tekanan dari luar, bukan? Berpikir kewajiban adalah berpikir dengan pola outside-in approach (dari luar ke dalam). Pendekatan ini relatif sulit diterima orang secara maksimal.

Bayangkan saat Anda masih kanak-kanak. Misalnya waktu itu Anda sulit makan. Tentu saja orangtua Anda akan cemas dan memaksa Anda makan. Makan menjadi kewajiban. Ada tekanan dari luar yang mengharuskan Anda makan. Namun, setelah kita dewasa, kondisinya berbeda. Makan berubah menjadi kebutuhan. Keinginan untuk makan sekarang berasal dari dalam, bukan dari luar. Ini namanya pendekatan inside-out. 

Kita pun perlu mengubah paradigma puasa dari kewajiban menjadi kebutuhan. Manusia senantiasa berpikir dengan pola - apa manfaatnya bagi saya? Suatu perbuatan yang tidak dipahami manfaatnya, tak akan berhasil mengubah orang. Walaupun dilakukan berulang-ulang, perbuatan itu tak akan berdampak. Orang hanya melakukan ritual seperti robot, namun tak memahami esensinya.

Sama halnya, sebelum orang tahu apa arti "takwa," pernyataan bahwa puasa dapat membuat manusia jadi bertakwa juga masih lemah. Apa untungnya menjadi manusia bertakwa? Dampak berpuasa harus dapat dirasakan di dunia sekarang juga, bukan hanya di akhirat nanti.

Ada dua paradigma mengenai takwa. Pertama, paradigma takut. Takwa berarti kita takut kepada Tuhan. Kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena takut kepada-Nya. 

Contohnya, Anda punya atasan yang Anda takuti. Apakah Anda akan melakukan perintahnya? Sudah tentu. Tetapi, apakah Anda suka bertemu dengan dia dan menikmati berada bersamanya? Saya yakin tidak. Bukankah Anda justru merasa lega, kalau berada jauh darinya?

Kedua, paradigma cinta. Paradigma ini jauh lebih ampuh daripada yang pertama. Dengan paradigma ini, kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya karena cinta kita yang begitu besar kepada Tuhan.

Bayangkan seperti ini: Anda punya atasan yang Anda hormati dan cintai. Apakah Anda akan melakukan perintahnya? Sudah tentu. Lantas, apa Anda suka bertemu dia? Saya yakin ya. Anda juga pasti akan merasa nyaman berada bersamanya.

Secara keseluruhan, puasa melatih kekuatan spiritual kita. Berpuasa membuat kita sadar bahwa kita sesungguhnya adalah makhluk spiritual yang saat ini sedang sekaligus menjadi makhluk fisik. Sebagai latihan spiritualitas, puasa antara lain melatih kita untuk bersabar. kesabaran akan mengembalikan kualitas diri kita, seperti ketika kita berada di alam roh dulu. Ini lebih hebat dari sekadar iming-iming bahwa kita akan "putih bersih" seperti bayi setelah berpuasa.  

(Dari: Buku Cherish Every Moment - Menikmati Hidup yang Indah Setiap Saat, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011)

Kamis, 25 Juli 2013

Menanti dengan Senyum

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu. Aku pergi ke dokter gigi untuk membersihkan gigi secara rutin. Petugasnya ramah dan gembira seperti biasa. Setelah selesai, aku ke kamar mandi. 

Saat membuka pintu kamar mandi dan berjalan ke lobi, ruangan jadi sangat hening dan gelap. Saat itulah aku menyadari, aku seorang diri dan kemungkinan petugasnya sedang keluar makan siang. Aku akan keluar sendiri, tidak masalah. Ternyata pintu tidak mau membuka. Aku agak panik, tetapi berpikir bahwa aku hanya perlu menyibukkan diri sampai mereka kembali.

Aku menemukan tombol lampu, menyamankan diri di sofa ruang tunggu, dan mengeluarkan semua album foto yang belum pernah kusentuh. Aku perhatikan, semua orang yang giginya telah diperbaiki menjadi sangat percaya diri.

Saat membolak-balik halaman album dan mendapati perubahan pada orang-orang, aku mulai bertanya-tanya tentang arti senyum. Ketika tersenyum pada seseorang, kita tidak bisa melihat senyum kita. Tetapi, kita dapat melihat senyum kita terpantul kembali kepada kita melalui wajah orang yang kita berikan senyum.

Senyum memberi semangat bagi si penerima, jika ia terbuka untuk itu. Paling tidak, itulah yang kurasakan ketika seseorang tersenyum kepadaku. Senyum adalah pesan kehangatan yang disepelekan oleh sebagian besar dari kita.

Ketika terbangun dari lamunanku tentang senyum, hampir satu setengah jam telah berlalu. Dokter gigi membuka pintu, senyumnya menghilang saat ia melihat aku duduk di ruang tunggu. Diperlukan beberapa detik, sebelum ia menyadari apa yang terjadi.

Sementara para staf masih agak bingung dan berulang meminta maaf, aku merasa sangat gembira karena dapat tetap tersenyum. Ternyata, ketidaknyamanan sehari-hari bisa mengubah diri kita, jika kita terbuka untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Saat itulah aku melihat sebuah hiasan di dinding yang bertuliskan: "Sebuah senyum berlalu dalam sekilas, tetapi ingatan akan senyum itu bertahan sepanjang masa." Tulisan itu benar sekali. (Leah M. Cano)  

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
 

Mencintai Keheningan

Jika engkau mencintai kebenaran, jadilah orang yang mencintai keheningan. Keheningan, seperti sinar matahari, akan menerangi engkau di dalam Allah dan akan membebaskan engkau dari hantu ketidaktahuan. Keheningan akan menyatukan jiwamu dengan Allah.

                     - Ishak dari Niniwe, uskup dan teolog (sekitar tahun 700 M) 

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Senin, 22 Juli 2013

Bebas Keterkondisian

Marilah kita melihat keterkondisian kita. Ada keterkondisian tubuh, ada keterkondisian batin. Tubuh kita terkondisi oleh berbagai hal dan terbiasa bereaksi menurut keterkondisiannya. Misalnya, orang tidak begitu saja mudah mengubah pola makan dari nasi ke umbi-umbian, kalau bertahun-tahun tubuh sudah terbiasa mengonsumsi bulir-bulir nasi. 

Anda bisa mengamati bagaimana tubuh Anda memiliki mekanisme perlindungan diri, ketika menghadapi cuaca panas atau dingin, menghadapi sesuatu yang mengancam, dan seterusnya. Keterkondisian fisiologis pada tingkatan tertentu kita butuhkan dan itu wajar, agar tubuh bisa bekerja secara efektif dan efisien.

Sementara itu, batin kita terkondisi oleh berbagai ingatan psikologis dalam bentuk pengalaman, pengetahuan, tradisi, ajaran, agama, ketakutan, harapan, ingatan akan kenikmatan dan kesakitan, rasa suka dan tidak suka, dan seterusnya.

Kita terkondisi sebagai istri atau suami, buruh atau majikan, orang Jawa, China, Batak, Flores, Ambon, atau suku tertentu, sebagai orang Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, sebagai teis atau ateis, dan seterusnya.

Berbeda dengan tubuh, batin yang terkondisi justru menjadi kerdil, dungu, tidak inteligen, dan tidak ada Cinta. Lihatlah batin Anda sendiri. Selama batin Anda terkondisi, respons total terhadap tantangan tidak mungkin terjadi. 

Kita hidup, bertindak, dan berfungsi menurut keterkondisian batin kita masing-masing. Kita menyukai atau tidak menyukai sesuatu, mencintai atau tidak mencintai sesuatu menurut keterkondisian kita. Kita bereaksi dan bertindak menurut beban pengaruh masa lampau.

Bisakah kita bebas sepenuhnya dari keterkondisian? Janganlah cepat-cepat menjawab, tetapi marilah kita menyelami fakta keterkondisian itu sendiri. Dengan memahaminya, ada kemungkinan kita keluar secara alamiah dari penjara keterkondisian. 

Inti dari keterkondisian tak lain adalah ego atau "si aku." Kalau "si aku" berakhir, sekalipun hanya beberapa saat, maka kita bebas dari keterkondisian, bebas sepenuhnya dari masa lampau. 

Bisakah kita mengamati langsung keterkondisian dan reaksi-reaksi yang muncul dari keterkondisian, tanpa "si aku" sebagai pengamat? Melihat secara langsung merupakan tindakan seketika dan melihat dengan cara demikian membebaskan kita dari beban pengaruh masa lampau.

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma hal. 77-80, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)

Rabu, 17 Juli 2013

Anak Rayap Ingin Keliling Dunia

Anak rayap bergerak keluar dari sarangnya. Ia begitu kaget sekaligus kagum melihat dunia luar. Pemandangan berbeda dengan sarangnya yang gelap. Begitu tertarik hatinya, ia ingin keliling dunia. Tetapi, ia belum tahu berapa luas dunia.  

Suatu hari, anak rayap bertemu dengan ulat. "Hai sobat, kau pasti tahu berapa luas dunia ini?" tanya anak rayap. "Dunia ini seluas sehelai daun," jawab ulat.

Jawaban itu tidak memuaskan hati anak rayap. Ia sendiri tinggal dalam sarang yang lebar, tentu dunia lebih luas daripada sehelai daun. Anak rayap lalu melihat kupu-kupu terbang di atas setangkai mawar. Ia lalu bertanya kepada kupu-kupu, "Selamat pagi, sobat. Dapatkah engkau memberitahuku berapa luas dunia ini?"

"Dunia ini sangat luas, sehingga sejauh mata memandang tak akan mampu melihat batas dunia ini," ujar kupu-kupu.

Mendengar jawaban kupu-kupu yang sangat berbeda dengan jawaban ulat, anak rayap bertambah bingung. Ia kembali ke sarangnya. Ia menceritakan pengalamannya kepada induknya dan bertanya, "Bu, mengapa jawaban kupu-kupu dengan ulat sangat berbeda?"  

Induk rayap berkata, "Ulat itu rakus, pandangannya sempit. Ia memandang dunia hanya sejauh kepentingan pribadinya, maka dunia tak lebih dari sehelai daun. Sebaliknya, kupu-kupu tidak egois, maka baginya dunia tampak luas!"   

(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., S.J. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006)   
 

Senin, 15 Juli 2013

Keindahan di Tengah Kehancuran

Sudah empat tahun aku bekerja di perusahaan ini, tiba-tiba bos memintaku menghadap ke Bagian Personalia bersamanya. Belum ada jadwal untuk kenaikan gaji atau pangkat. Satu-satunya alasan logis adalah karena aku akan dipecat.

"Ini selalu sulit dilakukan, tetapi kami perlu membebaskanmu," kata bos kepada petugas perempuan yang sebelumnya menandatangani kontrak kerjaku. Air mata yang sudah kutahan muncul ke permukaan. Mereka memandangku dengan kesedihan yang simpatik. Mereka tidak menyadari, ini adalah air mata kelegaan, kegembiraan yang lepas!

Dua tahun belakangan ini aku merasa terperangkap dalam pekerjaan. Aku telah memilih pekerjaan di dunia periklanan yang glamor di Chicago. Aku tidak menjalani hidup sebagaimana aku seharusnya hidup. Aku merasa seperti orang asing di apartemenku sendiri.

Dari luar sepertinya aku memiliki segalanya. Aku menerima kenaikan jabatan kedua dalam dua tahun. Aku pergi keliling dunia untuk pekerjaanku dan tinggal di apartemen mewah. Sebelumnya aku berharap, dengan mencapai tujuan ini akan membuatku bahagia dan puas. Seharusnya aku merasa sangat hidup dan bebas. Tetapi aku malah merasa terperangkap, sendirian dan takut bahwa hanya inilah yang terbaik.

Aku mulai berpikir, ada yang tidak beres dengan diriku. Mungkin aku punya kelainan mental yang menyebabkan aku sangat tidak bahagia. Aku menulis tujuan hidupku dengan lipstik di cermin kamar mandi: 1). Memperoleh $10.000 entah melalui kenaikan gaji atau pekerjaan baru dengan gaji lebih besar; 2). Ingin tinggal di Oregon, dekat dengan keluarga. 

Hanya dua minggu setelah aku menulis kalimat peneguhanku itulah, aku diminta ke Bagian Personalia. Sebagai kompensasi dari pemecatanku, mereka memberiku tunjangan sedikit di atas $10.000 dan kurang dari enam minggu kemudian, aku sudah kembali ke Oregon, tinggal dengan keluargaku.

Seperti potongan-potongan puzzle, aku memecah setiap aspek hidupku, membangun ulang dengan energi dan kekuatan positif. Aku membuat daftar hal-hal yang ingin kulakukan dalam hidup, dan mulai menindaklanjutinya.

Segala sesuatu di sekitarku mulai berubah. Relasi-relasiku menjadi lebih dalam, kepercayaan diriku lebih kuat, dan aku bahkan memelihara seekor anjing yang menakjubkan.

Sekarang, aku merasa lebih banyak cinta daripada yang pernah kubayangkan. Aku memilih mengubah derita menjadi sesuatu yang positif. Aku mewujudkan hidup yang sungguh-sungguh kuinginkan dengan bertahan pada pikiran positif.

Ada keindahan di dalam kehancuran, kita hanya perlu terbuka agar berubah dan percaya bahwa keajaiban memang terjadi. Ketika mengikuti hati kita, hasilnya tak akan pernah mengecewakan. Memiliki pandangan yang positif terhadap hidup dapat mengubah impian kita menjadi kenyataan. (Shannon Kaiser)

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)

Memecah Cangkang

Jika engkau mengingini isi di dalamnya, engkau harus memecah cangkang. 

Karena itu, jika engkau ingin menemukan ketelanjangan alam semesta, engkau harus menghancurkan simbol-simbolnya. 

Semakin jauh engkau masuk, semakin dekat pula kepada inti esensinya. Ketika engkau sampai kepada Yang Satu, yang mempersatukan segala hal pada diriNya, di situlah engkau harus tinggal. 

- Meister Eckhart (1260-1327), teolog dan mistikus Kristen asal Jerman 

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
 

Kamis, 11 Juli 2013

Menguji Kerendahan Hati


Teman Anda memenangi wisata gratis ke Pulau Karibia. Apakah Anda merasa senang karenanya, atau Anda kesal karena hal itu tidak terjadi pada Anda?

Seorang rekan di kantor mendapat kenaikan pangkat. Apakah Anda menyelamatinya, tetapi sesungguhnya Anda geram karena Anda merasa Anda-lah yang berhak memperoleh kenaikan pangkat itu?

Seorang teman yang kadang bersaing dengan Anda dalam profesi memenangi sebuah penghargaan. Apakah Anda gembira atas keberhasilannya, atau Anda khawatir Anda akan tersingkir?

Berbahagialah orang yang dapat berbagi sukacita dengan mereka yang bersukacita. Dunia ini besar, kawan. Ada banyak kebaikan untuk didapatkan oleh kita semua.

Janganlah pelit. Apabila Anda begitu sibuk mencakar dan menggaruk untuk mencari bakat yang bisa Anda peras dalam kehidupan Anda; Anda tidak akan punya waktu untuk mengapresiasi berkat yang diterima oleh sesama.

Santailah sedikit, carilah cara untuk mengapresiasi keunikan dan bakat orang lain, tanpa merasa hal itu merupakan kritik terhadap Anda.  

Kesempatan belajar menjadi rendah hati ada di sekitar kita. Salah satu cara terbaik menguji kerendahan hati seseorang adalah dengan melihat bagaimana ia memperlakukan sesama. Berikut ini, beberapa cara untuk merefleksikan sejauh mana kerendahan hati Anda:

- Saat Anda bersama orang lain, apakah Anda memaksakan pendapat Anda atau menjadi orang terakhir yang menyampaikan pendapat tentang suatu hal?

- Bagaimana perasaan Anda ketika seorang pengemudi memotong jalan Anda? Atau, bagaimana perasaan Anda tentang orang lain yang merebut meja yang telah Anda incar di restoran?

- Apakah Anda mudah tersinggung dan marah karena ketidaknyamanan kecil yang terjadi?

- Bagaimana Anda berbicara dengan orang yang mencatat pesanan Anda dari jendela drive-through restoran cepat saji? Apakah Anda berbicara dengan ketus?

- Bagaimana interaksi Anda dengan kasir di toko? Apakah Anda hanya bertransaksi saja atau Anda ada waktu untuk bertukar senyum, menyampaikan kata-kata pemberi semangat, atau melontarkan pujian? 

- Apakah Anda berterima kasih kepada pelayan di restoran atau toko?

Hidup ini memberi kita banyak kejutan. Segala sesuatu jarang terjadi sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Kita perlu belajar menyesuaikan diri, kalau tidak ingin terbentur. Dengan rendah hati, rangkullah apa yang Allah berikan kepada Anda, dan bersukacitalah juga akan apa yang Allah karuniakan bagi orang lain.

(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)

Senin, 08 Juli 2013

Buat Apa Berlapar-lapar Puasa?

Puasa merupakan fenomena sosial yang sangat penting. Puasa bukan hanya ada dalam ajaran Islam, tetapi juga ajaran agama lain dengan cara berbeda-beda. Dalam ajaran Islam, puasa menjadi hal khusus karena dilakukan sebulan penuh, yaitu sepanjang bulan Ramadhan.

Pertanyaan paling penting dalam ibadah puasa ialah, "Apakah yang dapat kita capai dengan berpuasa?" "Mengapa kita harus repot-repot berpuasa?" "Buat apa berlapar-lapar puasa?"

Jawaban normatif dari pertanyaan ini ialah supaya kita menjadi manusia yang bertakwa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda. Banyak orang yang berpuasa, tetapi korupsi jalan terus. Kita juga kerap menyaksikan orang-orang kembali ke perilaku yang buruk setelah Ramadhan berakhir.

Apa yang sebenarnya terjadi? Betulkah puasa bisa membuat kita jadi lebih baik dan mampu meningkatkan kualitas hidup? Mengapa bangsa kita yang sangat religius, justru termasuk bangsa yang nomor 1 dalam hal korupsi, nomor 2 dalam hal pornografi, dan nomor 3 dalam masalah narkoba? 

Saya menengarai ada tiga hal yang membuat ritual kita seolah-olah tak memiliki dampak signifikan terhadap perilaku kita. Pertama, banyak di antara kita yang tidak memahami mengapa kita harus berpuasa. Pertanyaan mengapa (why) dalam  konteks ini jauh lebih penting ketimbang pertanyaan bagaimana (how). 

Sayangnya, kita justru sering lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan "bagaimana." Pertanyaan yang selalu dibahas adalah mengenai cara berpuasa, menyikat gigi selama berpuasa, mencicipi makanan selama berpuasa, hukum bersuntik kala berpuasa, hubungan suami-istri selama bulan puasa, dan sebagainya. Selama pertanyaan "why" ini belum terjawab, selama itu pula puasa tak akan menghasilkan manusia bertakwa seperti yang kita harapkan. 

Kedua, banyak orang salah memahami arti puasa. Mereka menahan diri pada siang hari, tetapi berbuka secara berlebihan. Banyak yang menahan diri sebulan penuh, tetapi begitu Lebaran tiba mereka langsung "balas dendam" dengan makan sebanyak-banyaknya. Banyak orang menjadi "alim" selama bulan puasa, tetapi kembali ke perilaku semula untuk sebelas bulan berikutnya. Ini salah kaprah yang fatal.

Bila dianalogikan, puasa itu ibarat latihan, sementara sebelas bulan ke depan adalah pementasannya. Bayangkan kalau Anda mau melakukan pementasan acara di panggung. Yang menjadi ukuran keberhasilan bukanlah latihan yang keras, melainkan kinerja Anda di atas panggung. Begitu pula dengan berpuasa. Ukuran keberhasilan puasa seseorang justru ditentukan dari apa yang ia lakukan dalam sebelas bulan mendatang.

Ketiga, banyak orang hanya berpuasa secara fisik. Puasa yang perlu kita lakukan ialah puasa tingkat kedua, yaitu puasa perilaku. Di tingkat ini, puasa bukan hanya menahan diri secara fisik dari makan dan minuman, melainkan menahan semua perilaku yang tidak baik.

Setelah puasa tingkat kedua, kita perlu lanjutkan ke puasa tingkat ketiga, yaitu puasa pikiran. Puasa pikiran adalah menahan diri dari segala "makanan" negatif yang sering begitu saja masuk ke dalam pikiran. Terakhir, kita menuju puasa tingkat keempat, yang intinya adalah merasakan kehadiran Tuhan.

(Dari: Buku Cherish Every Moment - Menikmati Hidup yang Indah Setiap Saat, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011)
 

Sabtu, 06 Juli 2013

Tahu Cukup


Ada seorang pedagang kecil yang pandai membuat tahu dan menjualnya. Tahunya terkenal lezat, dalam setengah hari saja semua tahu terjual habis. Setelah makan malam bersama keluarga, ia duduk santai di halaman rumah sambil memainkan rebab. Ia menikmati hidupnya yang dirasa cukup.

Suatu hari datang seorang yang punya modal. Pedagang kecil itu ingin memperbesar usahanya. Ia tergoda dan bermimpi menjadi orang kaya. Setelah modal ditambah, skala produksi tahu jadi lebih besar dan karyawan lebih banyak.

Sekarang pedagang tahu itu jadi sibuk siang dan malam, mengatur produksi dan mengelola keuangan perusahaannya. Sejak itu, para tetangga tak lagi mendengar suara rebabnya. Hidupnya penuh kesibukan dan ketegangan. Tak ada sisa waktu untuk bersantai di halaman rumah.

Kemudian, ia memutuskan untuk mengembalikan seluruh uang kepada si penanam modal. Ia kembali memproduksi tahu dalam skala kecil seperti sebelumnya. Malam hari, tetangga-tetangga mulai mendengar suara rebabnya lagi. Inilah contoh orang yang tahu cukup, hidupnya bahagia.

Orang yang menjadi budak nafsu keinginan adalah orang yang selalu dihantui perasaan serba tidak cukup. Hidupnya gelisah. Bila keinginannya tidak tercapai, orang itu menjadi frustasi, kecewa, dan menderita. Sedangkan orang yang tahu batas adalah orang yang tahu arti kata cukup dan tidak lagi dikuasai nafsu keinginan.    

Lao Zi berkata, "Tidak ada bencana yang lebih besar daripada merasa diri belum cukup. Tidak ada bahaya yang lebih besar daripada keserakahan. Karena itu, orang yang merasa sudah cukup, selamanya berkecukupan." 

(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012) 

Memulai Kehidupan

Seorang individu belum memulai kehidupan sampai ia bisa bangkit di atas batas-batas sempit perkara-perkara individualistisnya dan beralih ke perkara-perkara kemanusiaan yang lebih luas.

                                - Martin Luther King, Jr. (1929-1968), 
                                   aktivis hak asasi manusia asal Amerika Serikat 

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Rabu, 03 Juli 2013

Jangan Tertidur

Untuk bisa menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti spiritualitas ialah kesadaran. Namun, banyak orang menjalani hidup ini dalam keadaan "tertidur."

Analoginya seperti orang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang dan nomor PIN Anda. Anda menyerahkan uang Anda pada orang tak dikenal. Anda tahu, tetapi tidak sadar. 

Menyadari berbeda sekali dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tetapi Anda tidak melakukannya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tetapi Anda tak dapat menahan godaan. Itu contoh tahu tetapi tidak sadar.

Hidup ini sering kali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi "bangun," kita harus menyadari siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. 

Ada ungkapan menarik dari filsuf Perancis, Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), "Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, tetapi kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi."

Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di dunia. Tubuh kita hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan mencari rumah yang lebih layak.

Cobalah resapi kalimat di atas. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan dasar itu, sudah cukup. Buat apa merusak jiwa Anda dengan berlaku curang dan korup?

Lantas, apakah kita perlu mengalami peristiwa-peristiwa pahit supaya kita sadar? Ya! Tetapi kalau cara tersebut terlalu mahal, Anda bisa belajar mendengarkan pengalaman orang-orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan cara pandang Anda.

Sayangnya, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukan untuk mempertentangkan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang seperti ini masih "tertidur," belum sepenuhnya "bangun."   

(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
 

Senin, 01 Juli 2013

Hari Baik

Banyak orang saat menentukan akan menikah, membuka usaha baru, atau bepergian - mencari hari, bulan, dan tahun yang "baik." Pada hari "baik" itu, diharapkan segala sesuatu akan berjalan lancar, sesuai keinginannya.

Baik atau tidak baik dan beruntung atau tidak beruntung itu relatif, tergantung kita sendiri yang menjalankan. 

Bila setiap hari kita tidak membenci orang, mengritik, menghakimi orang, menyebarluaskan aib orang, mengucapkan kata-kata yang tidak patut diucapkan, atau menyinggung perasaan orang, dan sebagainya, itu berarti setiap hari kita mengalami hari yang baik, penuh dengan kebahagiaan tanpa kegelisahan!

Sebaliknya, orang yang melakukan hal itu setiap hari akan mengalami hari yang tidak baik sepanjang tahun, hidupnya tidak bahagia, dan dia tidak disukai orang banyak.

Bila sepanjang tahun tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar hati nurani, orang akan melewatkan tahun yang baik, penuh dengan sukacita dan kedamaian.

Apakah kita sudah berusaha menciptakan hari dan tahun yang baik? Hari, bulan, dan tahun yang baik tidak ditentukan oleh faktor luar; semua ditentukan oleh diri kita sendiri. 

(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
  

Yang Penting

Yang penting bukanlah tahun-tahun dalam hidupmu, tetapi hidup di dalam tahun-tahunmu.

     - Abraham Lincoln (1809-1865),                                                                       Presiden Amerika Serikat ke-16

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)