Cari Blog Ini

Kamis, 27 Juni 2013

Jurnal Syukur

Dengan kepala tertunduk, aku menyusuri jalan di taman. Aku tak ingin berada di sini. Aku hanya ingin kembali ke tempat tidur. Depresi mengisap seluruh semangat hidupku. Dokter telah meresepkan antidepresan dan memberi sejumlah usulan untuk mengeluarkanku dari kemurungan, salah satunya berjalan-jalan di taman.

Apa yang bisa aku syukuri? Cuaca indah? Aku bahkan tidak memerhatikannya. Frustasi, aku memandang dengan tatapan kosong, sampai pandanganku membentur jurnal yang sudah lama kubiarkan. Aku terdorong memungutnya. Telah menjadi kebiasaanku untuk menulis dalam jurnal ketika aku pulang dari berjalan kaki.

Mulanya aku hanya mencatat hal-hal terbesar yang bisa kupikirkan, seperti aku bersyukur untuk suamiku, keluargaku, teman-temanku. Tetapi, dengan berjalannya waktu, aku menjadi lebih rinci menuliskan rasa syukurku. Aku bersyukur untuk suamiku yang menggosok punggungku dan untuk telepon yang kuterima dari seorang sahabat yang menanyakan keadaanku.

Aku takjub ketika mendapati aku mulai mencari hal-hal yang bisa kusyukuri untuk kucantumkan dalam jurnalku. Semakin banyak berjalan, semakin banyak aku menulis. Semakin banyak menulis, semakin banyak hal yang bisa kusyukuri. Semakin banyak aku bersyukur, semakin banyak depresi dan kemurungan yang terangkat.

Penemuanku terhadap hal-hal yang bisa kusyukuri meluas di luar kegiatan berjalanku; seperti seorang pria yang kereta belanjanya penuh sesak memperbolehkan aku mengantre di depannya, atau perempuan yang melihat buku cekku jatuh dari tas dan mengejarku untuk mengembalikannya. Peristiwa-peristiwa itu juga membuatku menyadari hal-hal yang bisa kulakukan untuk menolong orang-orang lain.

Kata "terima kasih" lebih mudah muncul. Aku menemukan diriku berterima kasih kepada orang-orang untuk hal-hal yang sebelumnya kuanggap sepele.

Begitulah jurnal syukurku dimulai. Sekarang, ada sekotak penuh berisi jurnal-jurnal itu. Sudut pandangku menjadi optimistis dan antisipatif, sangat berbeda dari si pemurung yang pernah tidak bisa memikirkan apa pun untuk disyukuri. Sekarang, salah satu tulisanku yang paling sering adalah, "Terima kasih, Tuhan, untuk karunia rasa syukur." (Nancy Baker)

Bila kita ingin mengubah hidup, cobalah bersyukur. Itu akan mengubah hidup kita besar-besaran. (Gerald Good)

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)

Selasa, 25 Juni 2013

Membangun Jati Diri

Orang yang ingin membangun jati dirinya, harus memerintah kerajaan dirinya sendiri. Orang itu harus menjadi yang paling unggul dalam menegakkan takhtanya, yakni mengalahkan keinginannya, memadamkan sikap anarki terhadap harapan-harapan dan ketakutan-ketakutannya, serta menjadi diri sendiri yang menyendiri.

               - Percy Bysshe Shelley (1792-1822), penyair asal Inggris  

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Terima Apa Adanya

Pemikiran subjektif seseorang tidak mungkin mampu mengubah keadaan objektif yang sudah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, jangan memaksakan kehendak secara subjektif untuk mengubah keadaan objektif. Terimalah apa adanya.

Semua orang punya talenta dan kemampuan masing-masing yang terbatas. Kemampuan kecil jangan dipaksakan melakukan pekerjaan besar di luar kapasitasnya. Kalau hanya mampu mengangkat benda seberat 20 kg, jangan memaksakan diri membawa benda 40 kg.

Sering kali tidak semua hal yang kita hadapi dalam hidup terjadi sesuai dengan keinginan atau harapan kita. Oleh karenanya, bila tidak mau melepaskan ego dan ke-aku-an dari pikiran, kita mengalami rasa kecewa atau frustasi mendalam. 

Terimalah kenyataan objektif dengan lapang dada, akui dan terimalah kenyataan hidup yang tak mungkin bisa kita ubah, baru kita bisa merasa tenang dan tidak gelisah.

Menerima apa adanya bukan berarti menyerah dan bersikap pasif atas kenyataan yang ada. Kita tetap berusaha, namun bila sudah bekerja maksimal tetapi tetap tidak bisa mencapai, kita tidak memaksakan diri.

Ada seorang veteran tentara Amerika yang salah satu kakinya diamputasi. Ia menjual koran di pinggir jalan kota New York sambil menyalakan radio dan bersiul mengikuti lagu yang sedang diputar. 

Seorang pendeta bertanya kepadanya, "Anda kehilangan satu kaki, tapi mengapa masih bisa hidup gembira dan optimistis?"
Penjual koran itu berkata, "Oh, lihat di sudut jalan itu ada orang yang berjualan koran dan kedua kakinya sudah tidak ada lagi. Aku masih beruntung karena punya satu kaki."   

(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)

Minggu, 23 Juni 2013

Berjuanglah dan Pasrahlah

Pasrah tidak sama dengan menyerah. Pasrah justru sebuah sikap proaktif, perjuangan habis-habisan untuk melakukan apa pun yang bisa kita lakukan, sekaligus menyadari akan adanya suatu kekuatan yang bekerja di luar kontrol kita.

Untuk bersikap pasrah, pertama-tama Anda perlu mengetahui apa yang bisa diubah dan yang tak bisa diubah. Apa pun masalah yang Anda hadapi, masukkan ke salah satu dari tiga kategori: hal yang dapat Anda kontrol, hal yang tidak dapat Anda kontrol tapi dapat Anda pengaruhi, dan hal yang berada di luar kontrol Anda. 

Inti kedua dari kepasrahan adalah selalu dapat melakukan sesuatu dalam situasi apa pun. Contohnya, Anda tidak dapat mengontrol kenaikan harga barang-barang, tetapi Anda dapat mengontrol gaya hidup Anda. Anda tidak bisa melakukan apa pun agar selamat dalam penerbangan, tetapi Anda bisa menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Jangan salah, menyerahkan kepada Tuhan bukanlah tindakan pasif, melainkan pilihan yang Anda ambil secara sadar.

Kepasrahan akan memberi Anda ketenteraman sejati. Seorang rekan divonis menderita kanker rahim sangat ganas. Ia pasien di rumah sakit yang sama dan dengan stadium kanker yang sama seperti penyanyi almarhumah Nita Tilana. Bahkan, ia sedianya akan dioperasi sebelum Nita. Bedanya, kawan saya ini minta operasinya ditangguhkan sebulan.

Selama itu, ia berpuasa dan benar-benar menyerahkan diri kepada Tuhan. Kemudian terjadilah keajaiban. Kanker yang sebelumnya menyebar, sekonyong-konyong menyatu di satu tempat, sehingga mudah diangkat. Sampai saat ini, rekan saya ini masih hidup dan bekerja bersama-sama dengan saya.

Kepasrahan berarti melakukan usaha semaksimal mungkin, tetapi menyerahkan hasilnya pada kehendak Tuhan. Dalam situasi tanpa kontrol, kepasrahan berarti memilih untuk menerima apa adanya, serta menghilangkan keinginan, ambisi, dan cita-cita apa pun.

Cobalah Anda perhatikan doa Anda. Masih seringkah Anda meminta sesuatu kepada Tuhan? Ataukah Anda mengatakan hal berikut ini: "Ya Tuhan, berikanlah kepadaku apa yang terbaik menurut kehendak-Mu."

(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
 

Cinta

Cinta adalah penyerahan diri bersama yang berakhir dalam penemuan diri bersama.

            - Fulton J. Sheen (1895-1979), Uskup Agung Amerika Serikat 

(Dari: Buku Untaian 1000 Kata Bijak, karya Dr. Rm. Sudi Yatmana. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2007)

Kamis, 20 Juni 2013

Cinta dan Perkawinan


Sepasang suami istri yang menyamakan Cinta dengan rasa-perasaan akan mudah terjebak dalam kebingungan. Saat rasa cinta membara, orang merasa bahagia. Saat rasa cinta lenyap, orang tidak lagi bahagia. Lalu apa yang dilakukan? Memutus tali perkawinan atau berupaya dengan berbagai cara untuk menghidupkan kembali rasa cinta seperti semula? 

Sekalipun Anda berjuang untuk menghidupkan cinta, Anda tidak akan menemukannya. Cinta sejati bukanlah rasa-perasaan emosional yang bisa dipupuk, bukan hasil pencarian, bukan pula hasil pergulatan. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa Anda ciptakan atau bisa diberikan oleh orang lain. Cinta tidak bisa diperbarui, karena ia selalu baru. Ia bukan kelanjutan dari yang lama. Ia bukan kenangan dari ingatan masa lampau atau impian masa depan.

Cinta yang kita kenal terkait dengan batin yang terkondisi. Maka apa yang kita kenal tidak lebih sebagai cinta verbal, cinta emosional, cinta sentimental, cinta romantis, cinta erotik, cinta ketertarikan, cinta pemuasan, dan seterusnya. Ketika kita bergairah secara emosional dan berkata, "Sayang, aku mencintaimu," di sana tidak ada Cinta yang sesungguhnya.

Selama masih ada ego atau diri, yang adalah pikiran, perasaan, keinginan, kehendak; tidak ada Cinta yang sesungguhnya. Ketika Cinta tiada, maka dalam setiap hubungan ada hitung-hitungan, konflik, dominasi, kekerasan, eksploitasi. Selama diri Anda mencinta, maka Anda melukai orang yang Anda cintai. 

Berbagai masalah dalam kehidupan keluarga mudah muncul karena tidak ada Cinta. Hubungan pribadi hanya didasarkan atas rasa suka dan tidak suka. Masing-masing pasangan sibuk dengan dunianya sendiri dan hanya bertemu di tempat tidur. Seks menjadi masalah besar antar-pasangan dan urusan ekonomi rumah tangga sering kali menjadi penentu segala-galanya. 

Kalau hidup perkawinan tak tertahankan lagi, apa yang akan dilakukan? Anda mencoba tetap bertahan, apalagi karena sudah memiliki anak? Atau Anda ingin memutus tali perkawinan demi  perkembangan anak-anak? Mungkinkah Anda hidup dalam keadaan Cinta – bukan sekadar cinta kepada anak-anak atau pasangan hidup – tetapi hidup dalam keadaan Cinta? Mungkinkah Cinta mekar dalam diri Anda, sebelum Anda memutus tali perkawinan? 

Cinta dan perkawinan ádalah dua hal yang berbeda. Orang bisa tidak menikah atau tidak lagi menikah, tetapi penuh Cinta. Bisa pula orang menikah dan hidup berkeluarga, tetapi tanpa Cinta. Perkawinan dan hidup berkeluarga yang tanpa Cinta menjadi aneh atau menggelikan. Ketika Cinta tiada, maka perkawinan atau hidup keluarga menjadi penjara. Sesungguhnya, institusi perkawinan tidak pernah bisa memenjarakan Cinta. Diri Andalah yang memenjarakan Cinta. 

Kalau diri tiada, Cinta ada. Maka, Cinta perlu didekati bukan secara positif, tetapi secara negatif. Batin perlu menyadari dan memahami apa saja yang kita kenal tentang cinta dan menegasinya secara total. Batin mesti sepenuhnya diam, berada dalam keadaan bebas. 
 
Batin yang diam dan bebas, tidak tertambat pada apa yang dikenal. Maka, cinta yang kita kenal dengan lapisan-lapisan rasa-perasaan itu perlu disadari, dipahami, dan dengan cara demikian dilampaui atau ditransendensikan. Barulah Cinta yang sesungguhnya - yang tak dikenal - mungkin akan mekar. 

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)

Selasa, 18 Juni 2013

Falsafah Air

Lao Zi berkata, "Sungai besar dan samudera luas bisa menjadi tempat berkumpul ratusan sungai lembah, karena sungai besar dan samudera berada di posisi yang lebih rendah sehingga mereka bisa menjadi pemersatu ratusan sungai lembah."

Kebanyakan orang ingin mendapatkan posisi lebih tinggi, menjadi orang terkaya dan terkenal. Karena itu ada pepatah berbunyi, "Biasanya orang mau bergerak ke atas terus, sebaliknya air mengalir ke tempat terbawah."

Kong Zi (Confucius) memiliki pengetahuan amat luas, tetapi masih tetap merendah seperti air. Ia mengatakan, "Janganlah malu bertanya kepada orang yang lebih rendah."

Dalam cerita Tiga Kerajaan (Sam Kok), Liu Bei kerap kalah di medan perang karena tak punya penasihat strategi dan taktik perang yang tangguh. Dengan sikap amat sabar dan merendah, sampai tiga kali ia mengunjungi rumah pakar strategi Zhu Ge Liang. Bila seseorang memperlihatkan arogansi dan tidak mau merendah di depan orang lain, tidak akan ada orang yang mau membantunya. 

Budi pekerti yang paling luhur memiliki sifat seperti air. Air memberi kehidupan kepada semua tanpa bersaing. Air berada di tempat paling rendah yang tidak disukai orang. 

(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012) 

Dengan Hati


Hal-hal yang paling baik dan paling indah tak bisa dilihat atau bahkan diraba, melainkan harus dirasakan dengan hati.

                     - Helen Keller (1880-1968), 
penulis, aktivis, dan dosen tunanetra & tunarungu asal Amerika Serikat    

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Minggu, 16 Juni 2013

Power Bank


Kehadiran alat ini bagai dewa penolong. Pengguna aneka gadget kini tak perlu cemas, jika tidak membawa charger untuk gadget-nya saat sedang bepergian. Dengan power bank, gadget yang baterenya sudah kehabisan energi, dapat segera diisi kembali.

Ini bukan promosi power bank. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari kita dapat berlaku seperti power bank. Kita menjadi pemberi energi bagi orang-orang di sekeliling kita yang mulai kehabisan “batere.”  

Energi yang kita berikan dapat berupa senyum, sapaan, ucapan-ucapan yang positif, dorongan moral, bantuan non-material dan material. 

Setelah memberikan energinya, power bank akan kehabisan energi, sehingga perlu di-charge kembali ke sumber listrik. Kita pun perlu tetap bersandar pada Sumber Utama energi kita. Dengan cara ini, kita dapat terus membagikan energi kita kepada orang-orang di sekitar kita yang membutuhkannya.
 

Yang Dicari

Tiga puluh tahun lamanya aku mencari Allah. Tetapi, ketika aku memandang dengan cermat, kenyataannya Allah adalah Sang Pencari, sedangkan akulah yang dicari.

          - Bayazid Bastami (804-874), sufi asal Persia

(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Kamis, 13 Juni 2013

Kesadaran

Dalam kehidupan sehari-hari, pernahkah Anda melakukan atau mengatakan sesuatu, kemudian menyesalinya? Anda bahkan tak habis pikir, mengapa Anda bisa melakukan atau mengatakan hal tersebut.

Banyak permasalahan yang kita hadapi terjadi semata-mata karena kurangnya kesadaran pada saat kita melakukannya. Anda baru sadar telah bercanda tidak pada tempatnya, begitu ada kawan yang merasa terluka; Anda baru sadar telah bertindak kasar, setelah orang lain sakit hati; Anda baru sadar telah berbohong, setelah hal itu menimbulkan masalah.

Kita sering melakukan sesuatu secara otomatis. Saking rutinnya hal tersebut, kita melakukannya tanpa menyadarinya. Kita hanya bergerak seperti robot. Menyadari perasaan yang muncul setiap waktu merupakan kunci keberhasilan dalam hidup.

Kenalilah berbagai perasaan yang datang silih berganti. Saat Anda marah, sadarilah Anda sedang marah. Begitu Anda takut, sadarilah Anda sedang takut. Ketika Anda tergoda - apakah oleh uang, kekuasaan, jabatan, atau perempuan - sadarilah Anda sedang tergoda. Dengan demikian, Anda "membunuh monster"-nya selagi ia masih kecil.

Salah satu ukuran kemajuan spiritual kita adalah sejauh mana kita dapat menjaga kesadaran kita setiap saat. Inilah yang disebut mindfullness, yaitu hidup dalam kesadaran dan keterjagaan pikiran.

Mindfullness membuat kita lebih fokus, memberikan perhatian pada apa yang tengah kita kerjakan pada saat kita mengerjakannya. Memberikan perhatian membuat kita hidup di dalamnya, serta menikmati dan mengapresiasi saat ini dalam semua kekayaan dan kedalamannya. 

Kesadaran ini bukan hanya akan meningkatkan kualitas hidup Anda pribadi, tetapi juga kualitas hubungan Anda dengan orang lain. Anda ingin mencobanya? 

Izinkan saya berbagi satu tips sederhana yang telah saya lakukan: mulailah hari Anda lebih pagi. Berangkatlah ke tempat kerja sedikit lebih awal dari biasanya. Jangan terburu-buru, melangkahlah dengan penuh kesadaran dan nikmati pemandangan di jalan yang Anda lalui. Bukalah semua panca indra dan rasakanlah keberadaan Anda. Anda akan menemukan banyak hal baru, dan percayalah, hidup Anda akan jauh lebih indah.

(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)

Pusat yang Tenang

Angin puting beliung mendapatkan dayanya dari suatu pusat yang tenang. Begitu pula manusia.

        - Norman Vincent Peale (1898-1993), pendeta dan pencetus teori berpikir positif

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)   
 

Senin, 10 Juni 2013

Yang Penting Intinya

Orang suci yang arif pada zaman Tiongkok kuno disebut sheng ren. Penampilannya merendah dan perilakunya selaras dengan alam semesta. 

Lao Zi dalam Dao De Jing mengatakan, "Aku tidak berharap menjadi batu mulia giok, lebih baik menjadi batu koral yang kuat dan sederhana."

Ada orang yang suka memperlihatkan kepandaian atau jasanya di depan orang, padahal apa yang ia lakukan jauh berbeda dengan apa yang pernah ia ucapkan. Karena itu dikatakan, "Sajikan buahnya, bukan bunganya." 

Sekarang, banyak orang menghabiskan waktu untuk mengobrol dan hanya membicarakan bunga-bunganya, tanpa menyentuh inti permasalahannya. Hal itu hanya membuang waktu dan tidak memberikan manfaat.

Banyak orang bangga menunjukkan identitasnya dengan sehelai baju, tanda pangkat, atau gelar kesarjanaan. Namun, baju, tanda pangkat, atau gelar kesarjanaan tidak mencerminkan mutu seseorang. Karena itu dikatakan, "Yang penting intinya, bukan kulitnya." 

(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)

Keraguan dan Pemahaman

Ketika engkau penuh keraguan, bahkan seribu kitab suci pun tak akan cukup. Ketika engkau telah sampai pada pemahaman, bahkan satu kata pun terlampau banyak. 

       - Fen Yang (947-1024, Taiyuan Kuno)


(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)