Cari Blog Ini

Selasa, 30 April 2013

Konflik dan Ketegangan dalam Hubungan


Kita terlibat dalam banyak hubungan dengan sesama: hubungan pasangan suami-istri, hubungan anak dan orangtua, hubungan keluarga, hubungan kerja, hubungan pertemanan, hubungan dalam masyarakat, dan seterusnya.

Apa yang kita cari dalam setiap hubungan? Setiap hubungan memiliki tingkat kedalamannya sendiri. Tetapi ada ciri yang sama dalam setiap hubungan. Pada umumnya lewat hubungan orang mencari rasa aman, kenikmatan, kepuasan, atau pemenuhan atas suatu kebutuhan. Selama kebutuhan terpenuhi, maka hubungan kita pertahankan.

Kalau hubungan menimbulkan rasa tidak aman, kesakitan, ketidakpuasan, maka kita memutus tali hubungan. Kemudian kita mencari pemenuhan kebutuhan dalam hubungan dengan yang lain. Begitulah seterusnya. Setiap hubungan dibentuk, dipertahankan, atau diputus berdasarkan motif pemenuhan kebutuhan dari pihak-pihak yang saling berhubungan.

Dalam kenyataan, tidak ada hubungan yang bisa menciptakan rasa aman yang sesungguhnya. Kalaupun ada, rasa aman itu tidak langgeng. Saat ini barangkali Anda berhubungan dengan orang tertentu dan Anda merasa aman. Tetapi dalam rasa aman tersebut, juga terdapat rasa tidak aman, takut, khawatir. Untuk menghindari rasa takut ini, Anda merasa harus memiliki. Maka muncullah rasa cemburu, nafsu menguasai, konflik, dan ketegangan.

Konflik adalah ketidakpaduan respons terhadap tantangan. Selama kita merespons tantangan dari pusat diri – yang adalah ingatan, pengetahuan, pengalaman, keinginan, harapan, ketakutan, dan seterusnya – maka kita menciptakan konflik.

Setiap konflik perlu dipahami secara tuntas. Upaya untuk mengenyahkan konflik, justru menciptakan konflik baru. Begitu pula berbagai upaya untuk mengatasi, menekan, mengontrol, mengendalikan, mengacuhkan, atau melarikan diri tidak membuat konflik berakhir.

Upaya mengatasi konflik menimbulkan ketegangan lebih besar. Sumber dari semua ketegangan adalah keinginan menjadi. Aku ingin menjadi lain dari kenyataannya. Aku merasa tidak aman, aku ingin rasa aman. Ada ketegangan antara kenyataan yang sekarang Anda hadapi dan kondisi ideal yang Anda inginkan.

Bukankah tidak ada lagi konflik dan ketegangan, kalau kita membuang yang ideal dan sepenuhnya tinggal bersama yang faktual? Tantangan terberat bagi kita adalah membersihkan diri dari tekanan ”harus” atau ”tidak harus,” ”boleh” atau ”tidak boleh,” ”wajib” atau ”tidak wajib.” Itu berarti membebaskan diri dari kebiasaan melawan apa yang faktual, berhenti dari kebiasaan untuk berjuang atau menjadi - menurut pola ideal yang kita ciptakan dari dalam atau dipaksakan dari luar.

Sejauh dapat dipahami, ketegangan dalam setiap hubungan merupakan momen transformatif. Melalui hubungan, diri kita yang merupakan akar dari konflik dan ketegangan itu sendiri terkuak. Diri selalu menciptakan jarak dari yang faktual. Jarak itu baru bisa terlebur, kalau diri sepenuhnya berakhir. Ketika diri berakhir, hubungan-hubungan lalu menjadi baru dan segar, bebas dari konflik dan ketegangan. 

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)

Sabtu, 27 April 2013

Impian Siapa?

Wilson dan Graham
Dalam buku otobiografinya, Just as I am, Billy Graham (94 tahun), penginjil asal Amerika Serikat, mengakui bahwa pelayanannya dan segala yang telah dicapainya selama ini adalah berkat bantuan orang-orang yang bermitra dengannya. 

Selama lebih dari setengah abad, salah satu orang penting dalam tim pelayanan Billy Graham adalah sahabatnya, Thomas Walter Wilson. Ketika masih muda, Graham sudah mengenal Wilson yang digambarkannya sebagai orang besar yang sedikit kasar. Tetapi Wilson telah terlatih dalam pelayanan dan menjadi pewarta Injil yang efektif.

Tahun 1948, ketika pelayanan dan tanggung jawab Graham semakin berkembang, ia meminta Wilson bekerja sama dengannya. Awalnya, sahabat semenjak kecil ini menolak, tetapi Graham bersikeras. "Aku membutuhkan seorang pewarta Injil; aku membutuhkan seorang yang mengenal aku, pelayananku, dan keluargaku; aku membutuhkan seorang yang dapat kupercaya," ujar Graham.

"Sesungguhnya saya tak mau bekerja sama dengan Billy," kenang Wilson. Ia sendiri sudah punya pelayanan yang sukses. Tetapi, akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengikut Graham. Ia mengesampingkan impian-impiannya sendiri, demi membantu Graham mencapai impian-impiannya.

Keputusan itu membuat perbedaan besar; bukan hanya dalam kehidupan mereka sendiri, melainkan juga dalam kehidupan orang-orang yang telah mereka jangkau bersama hingga kematian Wilson tahun 2001.

Terkadang, Anda perlu mengorbankan impian kecil Anda sendiri demi mencapai sasaran impian besar orang lain. Dibutuhkan keberanian dan kerendahan hati untuk mengambil keputusan seperti itu. Apa komentar Wilson tentang keputusannya mengikut Graham? "Saya tak pernah menyesalinya," kata Wilson.

(Dari: Buku Kerja Sama Membuat Impian Menjadi Kenyataan, karya John C. Maxwell. Penerbit Interaksara, 2003)
  

Kamis, 25 April 2013

Saudari Bulan



Tanpa kehidupan dan tanpa air, bulan merupakan pantulan pucat dari daya tarik utama tata surya yang bersinar terang. Tetapi sejauh yang kita tahu, sang rembulan belum pernah merasa keberatan atas peran pembantunya di alam semesta ini, atau melakukan walk out terhadap statusnya yang tidak mandiri.

Benda mengapung penuh bebatuan dan mineral yang oleh Fransiskus Assisi disebut Saudari Bulan ini terlihat cukup puas menerangi langit yang gelap dengan memantulkan cahaya tersembunyi sang surya. Kita mengagumi kehadirannya yang terang berbinar, melontarkan cahayanya pada berjuta kisah kasih, memberi inspirasi baik bagi film-film fiksi ilmiah maupun eksplorasi nyata, serta menjadi pengingat yang dekat dan terus-menerus akan kemisteriusan dan luasnya angkasa.

Anda dan saya dapat menarik hikmah berharga dari Saudari Bulan. Seperti halnya dia, kita bukanlah pusat perhatian dari jagat raya – meskipun kita terkadang bersikap seperti itu. Di tengah besar dan agungnya alam semesta ini, kita hanyalah makhluk kecil dan tidak mandiri yang kemegahan utamanya adalah pantulan dan cemerlangnya cahaya Allah.

Setidaknya begitulah yang seharusnya terjadi. Akan tetapi, terlalu sering kebanggaan kita menjadi penghalang, mengakibatkan kepedihan dan duka yang tak perlu pada diri sendiri maupun sesama, serta menghalangi kita menjadi seperti yang Allah kehendaki.

Selama ribuan tahun sejarah manusia, rasa bangga tetap sama dari dulu sampai sekarang. Kita berpikir, kita akan lebih bahagia bila menentukan jalan kita sendiri, mendirikan penghalang antara kita dengan Allah, serta membangun tembok-tembok persaingan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan antara kita dan saudara-saudara kita.

Jelajahilah bagian buku-buku bisnis di toko buku. Anda akan melihat buku-buku yang memuji nilai-nilai keagresifan, kompetisi, pemusatan perhatian pada diri sendiri, serta rasa percaya diri. Rasa bangga menggelembungkan ego dan keinginan kita, membuat kita menuntut untuk mendapatkan apa yang kita inginkan di dunia ini.

Fransiskus Assisi paham betul akan kekuatan dan bahaya dari rasa bangga pada diri manusia. Ia mengecamnya sebagai musuh rohani nomor satu. Satu-satunya cara untuk melucuti ancaman kebanggaan ini adalah dengan tanpa henti mempraktikkan kerendahan hati. Dan tak ada yang dapat menjaga seseorang tetap rendah hati, kecuali melalui penyadaran diri.

(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
 

Selasa, 23 April 2013

Lantai Marmer

Setiap orang yang mengunjungi museum, pasti menginjakkan kaki di hamparan lantai marmer sambil melihat dengan penuh kekaguman pada patung marmer di dekat pintu. 

Pemandangan yang terjadi setiap hari ini membuat lantai marmer marah kepada patung marmer.

"Ini tidak adil! Setiap hari aku diinjak-injak orang seperti keset. Padahal, kita berasal dari tempat yang sama. Tetapi, coba lihat. Kamu selalu dikagumi orang, sedangkan aku tidak diacuhkan," kata lantai marmer kepada patung marmer.

"Sobat," tanggap patung marmer, "Kita memang berasal dari batu gunung yang sama. Mungkin kamu sudah lupa dengan apa yang terjadi setelah itu? Ketika sang pemahat memotong kita dari lereng gunung, kemudian kamu menolak peralatan pahat yang hendak mengukirmu."

"Tentu saja aku tidak mau. Tindakan itu menyakitkan. Aku tidak perlu dibentuk," kata lantai marmer.

"Itulah. Karena kamu melawan ketika hendak dipahat, akhirnya sang pemahat memilih aku. Aku bersedia menanggung segala penderitaan dan rasa perih akibat pahat," ujar patung marmer.

"Wah, aku tidak terpikir sampai ke situ," kata lantai marmer lagi.

"Kamu menyerah di tengah jalan. Makanya, sekarang tak perlu menyesal. Jangan salahkan aku dan orang-orang yang menginjakmu," tandas patung marmer.

(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., S.J. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006)   
  

Minggu, 21 April 2013

Orang Miskin

Orang yang benar-benar miskin 
bukanlah orang yang kekurangan uang, tetapi orang yang kekurangan kegembiraan batin.

        Swami Chinmayananda (1916-1993), Guru Spiritualitas asal India

(Dari: Buku Untaian 1000 Kata Bijak, karya Dr. Rm. Sudi Yatmana. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2007)
 

Cantik dari Hatimu

Ada kenalan baru yang ingin bertemu untuk membicarakan suatu hal. Karena anaknya sedang dirawat di rumah sakit, kami berjanji bertemu di sana. 

Setiba di kamar perawatan, tampak seorang perempuan sedang bersama anak itu. Karena belum pernah bertatap muka, aku mengira perempuan itu adalah ibu si anak kelas 1 SMA yang sedang sakit.

Saat memperkenalkan diri dengan memanggilnya "ibu," perempuan itu marah besar. Dengan ketus ia berkata, "Sudah jelas situ lebih tua dari saya!" Rupanya, ia tak mau dipanggil dengan sebutan ibu, karena ternyata ia adalah guru les yang sedang memberikan kursus kepada anak yang sedang sakit tersebut.

Sama sekali tak menduga, di rumah sakit - ketika pasien seharusnya beristirahat, masih bisa digelar kursus. Beberapa menit kemudian, kursus berakhir. Si nona pengajar kursus berkemas, bergegas meninggalkan kamar perawatan tanpa menoleh, apalagi tersenyum.

Baru kali ini ada orang yang begitu marah dipanggil "ibu." Sebegitu berartikah penampilan dan kecantikan lahiriah? Bukankah kelak ia pun akan dipanggil dengan sebutan "ibu"?

"You are beautiful, beautiful, beautiful. Kamu cantik, cantik dari hatimu...." senandung sekelompok remaja putri dari girl band Cherry Belle. Seandainya si nona tadi tersenyum dan dengan lembut mengatakan, "Maaf, saya bukan ibunya...," tentu sinar keindahan batinahnya akan memancar dan menambah kecantikan lahiriahnya.

(Pengalaman seorang sahabat)

Kamis, 18 April 2013

Beri Kesempatan Kepada Orang Lain

Suatu hari, seorang wanita mendekati Presiden Abraham Lincoln dengan sikap agak angkuh. "Bapak Presiden," katanya penuh semangat, "Anda harus menganugerahi pangkat kolonel kepada anak saya. Saya minta ini bukan karena kebaikan hati, tetapi sebagai hak. Mendiang kakek saya dulu bertempur di Lexington. Paman saya satu-satunya orang yang tidak lari dari Bladensburg. Ayah saya bertempur di New Orleans, dan suami saya tewas di Monterey." 

"Nyonya," jawab Presiden Lincoln dengan tenang, "Keluarga Anda telah berjasa besar terhadap negeri ini. Sekarang, tiba waktunya untuk memberi kesempatan kepada orang lain." (Edmund Fuller)

(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., S.J. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006)   

Menjadi Berbeda

Katherine Mansfield
Kalau kita bisa mengubah sikap, kita bukan saja bisa melihat dunia secara berbeda, tetapi hidup kita sendiri akan menjadi berbeda.

                            - Katherine Mansfield, 
penulis cerpen modern asal Selandia Baru  (1888-1923)

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit Gramedia, 2012)

Senin, 15 April 2013

Kesalahan yang Disadari

Entah mengapa, setiap kali kendaraan saya berhenti di lampu merah, selalu ada pengemudi di belakang saya yang membunyikan klakson kendaraannya seolah menyuruh pengemudi di depannya segera melaju - padahal lampu lalu lintas masih menyala merah.

Entah mengapa juga, pengemudi yang ada di bagian depan seolah menerima begitu saja perintah melalui bunyi klakson tersebut. Perlahan-lahan mereka maju, sekalipun lampu lalu lintas tampak belum berubah warna.

Tidak jarang jika saya sengaja bertahan, kendaraan saya diketuk dari luar oleh pengatur jalan amatiran yang menyuruh saya maju. Saya sangat yakin, semua pengemudi yang melanggar pastilah menyadari kesalahan yang mereka lakukan, tetapi mereka seolah memakluminya. Banyak orang menerima hal itu sebagai kesalahan yang disadari.

Ketika setiap kita tidak peduli akan pelanggaran dan kesalahan orang lain, serta membiarkannya mengulang kesalahan yang sama, hasilnya adalah kesalahan yang dilakukan bersama-sama. 

Marilah kita belajar menjadi "malaikat" yang saling mengingatkan, demi menolong diri kita sendiri dan orang lain untuk menyadari kesalahan dan melakukan yang benar. 

(Dari: Buku Momen Inspirasi - Renungan Bagi Kesehatan Jiwa jilid ke-3, karya Imanuel Kristo. Penerbit Andi - Yogyakarta, 2012) 

Minggu, 14 April 2013

Harapan

Beberapa orang melihat ujung tanpa harapan, beberapa lainnya melihat harapan yang tak berujung.

                       - anonim


(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit Gramedia, 2012) 
 

Kamis, 11 April 2013

Memahami Gerak Keinginan

Setiap orang memiliki keinginan dan tidak ada kehidupan manusia tanpa keinginan. Kita memiliki banyak keinginan. Misalnya, keinginan memperoleh sandang, pangan, papan; keinginan menguasai, memiliki, merasa aman, bahagia; keinginan menjadi lebih baik, sabar, rendah hati; keinginan hidup kekal, dan seterusnya.

Apa itu keinginan? Keinginan muncul ketika kita memiliki gambaran tentang sesuatu di luar atau di dalam batin dengan segala sensasi yang ditimbulkan. Sensasi fisikal akan mudah berkembang menjadi sensasi psikologis, setelah pikiran mengembangkan imajinasi.

Ada rasa suka ketika Anda melihat sesuatu yang menarik, dan rasa tidak suka ketika melihat sesuatu yang tidak menarik. Lalu sensasi itu menggerakkan keinginan untuk menyenangi atau membenci suatu objek. Sensasi suka dan tidak suka pertama-tama bukan ditimbulkan oleh objeknya sendiri, tetapi oleh gambaran kita tentang objeknya.

Dalam setiap keinginan ada konflik, kontradiksi, dan pergulatan. Keinginan menguat dalam hasrat, kerinduan, harapan, impian. Pemenuhan objek yang diinginkan membuat orang merasa puas. Begitu pula sebaliknya.

Semakin kuat gambaran tentang suatu objek, semakin menarik objeknya, dan gairah semakin terkobarkan. Apa jadinya ketika keinginan terpenuhi? Bukankah gairah itu lenyap dan objek tidak lagi bernilai? Lalu apa yang kita lakukan, ketika objeknya tidak lagi menarik? Kita membuang objek itu karena tidak lagi bernilai, dan mencari objek lain sebagai pemuas keinginan.

Kita terbiasa mengganti, menambah, atau mengurangi objek-objek keinginan. Proses itu kita sebut perubahan, pertumbuhan, kemajuan. Betapa pun kita merasa maju, tetapi kebanyakan dari kita tetap tidak keluar dari belenggu api keinginan yang terus berkobar dan melalap objek-objeknya. Keinginan menjadikan objek hanya sebagai alat pemuasan, dan semakin memperkuat diri sebagai akar konflik.

Belenggu keinginan telah menciptakan berbagai problem kejiwaan. Keinginan membuat batin seperti kolam yang keruh. Bisakah kita bebas dari belenggu keinginan? Bukankah tidak ada orang yang bisa memusnahkan keinginan? Apakah Anda merasa didera oleh keinginan dan Anda ingin bebas dari keinginan? Bukankah Anda tetap tidak keluar dari lingkaran keinginan?

Keinginan tidak bisa dan tidak perlu dimatikan. Kalau pun Anda melakukannya, Anda mematikan kehidupan, karena tidak ada kehidupan tanpa keinginan. Keinginan untuk mencari sandang, pangan, papan adalah keinginan yang wajar. Keinginan seperti itu tidak menciptakan problem psikologis. Tetapi keinginan untuk menjadi bahagia, aman, suci telah menciptakan problem kejiwaan yang serius. Bisakah kita bebas dari belenggu keinginan, tanpa keinginan untuk memusnahkan keinginan itu sendiri? 

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
 

Rabu, 10 April 2013

Orang Bijak

Orang bijak tidak bersedih untuk hal-hal yang tidak dia miliki, tetapi bergembira karena hal-hal yang dia miliki.

        - Epictetus, filsuf Yunani (55-135)


(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit Gramedia, 2012)

Senin, 08 April 2013

Kera Belajar Bermeditasi

Seekor kera sering mencuri buah-buahan di pertapaan. Suatu hari, saat ia memetik buah, ia mendengar guru sedang mengajar para muridnya:

"Anak-anakku, kalian tekunlah bermeditasi. Dengan bermeditasi, tujuan hidupmu menjadi murni. Hanya makhluk yang telah mengosongkan dirinya yang mampu berkonsentrasi dalam bermeditasi."

Mendengar ajaran guru itu, si kera tersentuh hatinya. Ia tidak jadi memetik buah, tetapi langsung lari pulang. Kera yang biasanya rakus ini membagi-bagikan buah-buahan kepada para hewan lain. Ia juga menebang pohon buah-buahan sampai habis. Tindakan kera membuat kupu-kupu heran.

"Apa yang sedang kau lakukan, sahabatku?" tanya kupu-kupu.

"Aku ingin lepas bebas, sehingga dapat bermeditasi dengan baik," jawab si kera.

"Kau pikir dengan tidak melihat buah-buahan, kau akan lebih mudah bermeditasi?" tanya kupu-kupu lagi.

"Betul, kupu-kupu," kata si kera.

"Memang, kau tidak melihat buah-buahan di depan mata, tetapi percuma kalau dalam pikiran kau masih membawa buah-buahan," ujar kupu-kupu.

Yang membuat keterikatan pertama-tama bukan terletak pada barang, tetapi hati yang senantiasa "membawa barang." Walau ada setumpuk barang menggiurkan, kalau hati sudah lepas bebas, maka barang-barang itu tidak akan mengganggu. 

(Dari: Buku Tidak Ada Makan Siang Cuma-Cuma - 75 Kumpulan Cerita Bijak, karya Yustinus Sumantri Hp., S.J. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2006) 

Sabtu, 06 April 2013

Sepiring Nasi dengan Lauknya

Sepiring nasi dengan lauknya bukanlah sekadar penghilang rasa lapar. Jika pemahaman kita hanya sebatas itu, sepiring nasi dengan lauknya menjadi tampak sangat murah. Tetapi, sebenarnya sepiring nasi dengan lauknya adalah bukti persahabatan alam dengan manusia.

Ya, melalui sepiring nasi dengan lauknya kita mendapati ada makhluk hidup yang rela kehidupannya dihentikan demi menghidupi kita. Sepiring nasi dengan lauknya adalah gambaran betapa bersahabatnya alam terhadap kita, meskipun sering kali kita tidak bersahabat dengan alam.

Sepiring nasi dengan lauknya hendaknya senantiasa mengingatkan kita untuk mengembangkan persahabatan dengan semua makhluk.

(Dari: Buku Momen Inspirasi - Renungan Bagi Kesehatan Jiwa jilid ke-3, karya Imanuel Kristo. Penerbit Andi - Yogyakarta, 2012) 
   

Yang Lebih Dibutuhkan

Sering kali perubahan diri lebih dibutuhkan daripada perubahan keadaan.

      - Arthur Christopher Benson, 
penyair & penulis asal Inggris (1862-1925)

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit Gramedia, 2012)

Kamis, 04 April 2013

Lebih Mengenal

Aku tidak suka orang itu, maka aku harus mengenalnya dengan lebih baik.

                         - Abraham Lincoln,  
                  Presiden AS ke-16 (1809-1865)

(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit Gramedia, 2012)

Rabu, 03 April 2013

Saat Merasa Tak Bersalah

Siang itu kendaraan kami terhalang dua kendaraan yang berhenti di gerbang masuk kompleks perumahan. Rupanya, kedua pengemudi kendaraan itu sedang adu mulut. Keduanya merasa paling berhak keluar dan masuk lewat pintu gerbang lebih dahulu. Namun, hal itu malah membuat kendaraan mereka bergesekan.

Mereka turun dari kendaraan masing-masing dan saling menyalahkan. Tak tahan berlama-lama dalam mobil menunggu mereka, saya spontan turun dan mencoba membantu mereka menyelesaikan masalah itu dengan simpatik dan ramah.

Namun, tak semudah yang dibayangkan, ketika berhadapan dengan mereka. Mereka tidak hanya sulit didamaikan, tetapi juga sikap mereka hampir memancing emosi saya. Akhirnya saya mengundurkan diri, setelah merasa cukup memberi nasihat.

Merasa diri selalu benar, tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Merasa diri selalu benar bukanlah kebenaran itu sendiri. Setiap orang yang merasa selalu benar, sesungguhnya sedang membangun kecenderungan untuk salah. Beranilah mengakui kesalahan, karena dari sanalah awal kebenaran yang sesungguhnya. 

(Dari: Buku Momen Inspirasi - Renungan Bagi Kesehatan Jiwa jilid ke-3, karya Imanuel Kristo. Penerbit Andi - Yogyakarta, 2012)