Cari Blog Ini

Kamis, 28 Juni 2012

Kasih Tak Bersyarat

Musim panas tahun 1956, orangtua saya tak lagi punya pengasuh anak penuh waktu. Di usia 14 tahun, saya bertanggung jawab menjaga adik-adik. Ketika melihat seorang polisi sedang mengatur lalu lintas yang padat, karena rumah kami dekat arena pacuan kuda, hati saya tergerak membawakannya segelas jus dingin.

Polisi itu bernama Bill. Ia sudah menikah, punya dua anak, dan sedang menanti kelahiran anak ketiga. Senyumnya hangat, setelah beberapa kali berkunjung, ia berkata, "Kau tahu, Karen, para polisi di kantor berebut ditempatkan di sudut jalan ini, karena ada seorang remaja cantik yang menyajikan minuman dingin dengan senyum manis." Wajah saya bersemu merah mendengarnya.

Beberapa minggu kemudian, ada seorang asing yang berpenampilan seperti kontraktor, datang ke rumah. Ia begitu meyakinkan, sehingga saya percaya bahwa ayah telah memintanya datang. Saya mengizinkannya masuk. Tetapi, setelah ia tahu situasi di rumah, ia menerkam saya dari belakang. Saya merasakan sebilah pisau menempel di leher. Penjahat itu memerkosa saya dan meninggalkan kengerian yang terus melekat dalam jiwa saya.

Setelah kejadian itu, saya membawa adik-adik ke rumah tetangga, lalu menelepon polisi dan orangtua saya. Saat itu saya berharap ayah memeluk saya dan mengatakan saya akan baik-baik saja.  Namun, ayah malah menjauhi saya. Hidup saya hancur.

Saat polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan, saya merasa seperti penjahat bukan korban. Waktu itu belum ada pusat rehabilitasi. Orangtua saya mengalami kepedihan dan mereka tak dapat menolong. Saya merasa sendiri dan ditinggalkan. Pikiran bunuh diri menghantui saya.

Suatu hari, dua orang detektif datang. Sambil menundukkan kepala saya menemui mereka. "Karen, apakah kamu masih ingat saya?" suara tak asing menyapa. Saya mendongak dan melihat Bill. Dengan lembut ia menggenggam tangan saya. Air mata yang selama ini saya tahan, mengalir begitu saja.

Bill ditugaskan menangani kasus saya. Bagi saya, ia tak ubahnya seperti ayah angkat. Persahabatan yang dtunjukkannya memberi harapan. Ia mengenalkan saya kepada istrinya. Rumah mereka menjadi tempat aman bagi saya. Kasihnya yang tulus menolong saya dalam mengatasi trauma.

Setelah pemerkosa itu tertangkap dan menjalani hukumannya, persahabatan saya dengan Bill dan keluarganya terus berlanjut. Selama bertahun-tahun kami melewati banyak peristiwa suka dan duka bersama. Kini, persahabatan kami telah berlangsung selama empat puluh tahun.

Dunia pasti akan lebih indah, bila semua orang mau mengulurkan tangan untuk menolong mereka yang mengalami kepedihan dan mengasihi dengan kasih Allah yang tak bersyarat, seperti yang dilakukan Bill terhadap saya. (Karen Kosman)

(Dari: Buku Embun Bagi Jiwa Terluka, karya Kathy C. Miller & D. Larry Miller. Penerbit Yayasan Gloria, Yogyakarta 2001)

Senin, 25 Juni 2012

Kebaikan Tuhan

Dua orang melakukan perjalanan bersama. Mereka membawa seekor keledai untuk mengangkut barang, sebuah obor untuk menerangi jalan di waktu malam, dan seekor ayam untuk menemani keledai. Salah seorang di antaranya sangat saleh, sedangkan yang seorang lagi tidak percaya kepada Tuhan.

"Tuhan itu sangat baik," kata orang pertama yang saleh. "Kita akan lihat, apakah pendapatmu itu bisa dibuktikan dalam perjalanan ini," kata yang lainnya.

Menjelang petang, mereka tiba di sebuah desa kecil. Mereka mencari tempat bermalam, tetapi tak seorang pun di desa itu mau menerima mereka. Dengan berat hati mereka melanjutkan perjalanan sampai ke luar desa dan memutuskan bermalam di alam terbuka.

"Katamu Tuhan itu baik," kata orang kedua dengan sinis. "Tuhan telah memutuskan, di sinilah tempat bermalam kita yang terbaik," jawab temannya. Mereka memasang tempat tidur di bawah sebuah pohon besar, di samping jalan menuju ke desa tadi. Mereka mengikat keledai berjarak lima meter dari tempat mereka tidur.

Ketika mereka menyalakan obor, tiba-tiba terdengar suara gaduh. Seekor singa menerkam keledai mereka dan menyeretnya untuk dimakan. Kedua orang itu segera bersembunyi di atas pohon. "Kamu masih bilang Tuhan itu baik?" orang kedua berujar dengan marah. "Jika singa itu tidak menerkam keledai kita, ia tentu akan menyerang kita. Tuhan memang baik," jawab orang pertama.

Beberapa saat kemudian, seekor kucing liar menerkam ayam mereka dan membawanya pergi. Sebelum orang kedua mengatakan sesuatu, orang pertama berkata, "Jeritan ayam itu sekali lagi menyelamatkan kita. Tuhan itu baik."

Tak lama berselang, hembusan angin kencang memadamkan obor mereka, yang merupakan satu-satunya penghangat badan di malam yang kelam. Orang kedua kembali mengejek temannya, "Tampaknya kebaikan Tuhan terus bekerja sepanjang malam ini." Orang pertama diam saja.

Keesokan pagi, kedua orang itu kembali ke desa untuk mencari makanan. Mereka mendapat kabar, segerombolan perampok telah menyerang desa itu semalam dan merampok seluruh desa. Mengetahui situasi tersebut, orang pertama berkata, "Seandainya kita bermalam di desa ini, kita pasti sudah dirampok bersama seluruh penduduk desa. Seandainya angin tidak memadamkan obor kita, para perampok itu pasti melewati jalan di dekat kita tidur. Mereka pun akan merampok kita. Tuhan memang baik." (Cerita rakyat Yahudi)

(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)

Sabtu, 23 Juni 2012

Bertahan

Ada saat-saat aku merindukan hidup seratus tahun lagi bagi Tuhan, ketika tidak mengalami kesengsaraan dan penderitaan yang terlalu berat. Kadang, bila kesempatan-kesempatan datang, ada kesungguhan untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Tetapi, aku tidak bisa mengatakan bahwa keinginan tersebut tetap ada padaku, karena kadang jiwaku berubah menjadi pengecut menghadapi masalah-masalah kecil dan terlalu takut untuk melakukan pekerjaan apa pun bagi Tuhan.

Apakah hal seperti ini tidak terjadi pada Anda?

Kadang aku merasa sangat terpojok bila menghadapi pencobaan. Hari berikutnya aku merasa bahwa aku agak terikat dengan hal-hal yang pada hari-hari sebelumnya aku tertawakan, dan aku hampir tak mengenali diriku sendiri.

Suatu hari aku merasa sangat bersemangat dan mau melakukan apa pun untuk Tuhan. Hari berikutnya aku tidak ingin membunuh seekor semut pun, jika kebetulan bertemu. Ada pula hari-hari di mana tidak ada ucapan orang yang membuat aku tersinggung. Tetapi ada hari-hari tertentu hanya dengan satu kata, menyebabkan aku merasa sangat terpukul sehingga aku ingin lari dari dunia.

Engkau tahu, Tuhan, bagaimana semuanya itu terjadi.

Kasihanilah aku. Bantulah, agar aku bisa mewujudkan sebagian impianku demi keagungan dan kemuliaanMu. Janganlah menelantarkan aku sepenuhnya, sebab hanya oleh kekuatanMu aku dapat bertahan; tanpa Engkau, ya Tuhan, aku tidak dapat berbuat apa-apa. 

(Dari: Buku Jangan Biarkan Apa pun Mengganggumu - 30 Hari Bersama Mahaguru Spiritual Teresa dari Avila, John Kirvan - editor serial. Penerbit Obor, 2012)

Kamis, 21 Juni 2012

Diam dan Dengarkan

Suatu hari, ketika seorang petani bekerja di lumbung padi, jam tangannya terjatuh di tumpukan padi. 

Ia mulai sibuk mencari dengan lentera dan penggaruk tanah. Temannya ikut membantu mencarikan, tetapi pencarian mereka yang ribut itu tidak membuahkan hasil.

Mereka lalu berhenti untuk makan siang. Seorang anak kecil dengan tenang masuk ke lumbung itu. Tak lama berselang, ia berhasil menemukan jam tangan yang hilang. 

Ketika pemilik jam tangan itu menanyakan bagaimana si anak bisa menemukannya, anak itu berkata, "Saya hanya berbaring di tumpukan padi dan diam, sehingga saya dapat mendengar detak jarum jam itu." (Bruno Hagspiel)

(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna jilid ke-1, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)

Selasa, 19 Juni 2012

Kesabaran Sejati

Kesabaran yang sejati menerima bukan hanya pencobaan-pencobaan besar dan berat yang kadang terjadi dalam hidup kita, namun juga masalah-masalah kecil dan kejadian-kejadian mengganggu yang terjadi setiap hari.

Hal ini berarti, bersabar bukan hanya saat menghadapi masalah berat, namun juga saat berjumpa dengan gangguan-gangguan kecil yang dikirimkan atau Allah izinkan terjadi. Berarti juga sabar dengan tempat di mana Ia telah menempatkan kita, bersabar dengan orang-orang yang Ia tempatkan di sekeliling kita, sabar dengan keadaan apa pun yang Ia izinkan terjadi dalam hidup kita.

Jangan bingung membedakan kesabaran dengan sikap acuh tak acuh, malas, atau kurang peduli. Ketika engkau sedang mengalami ketidakberuntungan, carilah hikmah yang disediakan Allah bagimu.

Ketika engkau telah melakukan apa yang bisa engkau lakukan, manfaatkan apa pun yang Tuhan sediakan untukmu, nantikan hasilnya dengan sikap sabar dan pasrah. Jika Allah melihat bahwa baik untuk mengalahkan kejahatan dengan mengatasi penyakit, atau apa pun itu, maka bersyukurlah kepada-Nya dengan penuh kerendahan hati. Namun, sebaliknya, jika Ia mengizinkan kejahatan menang, dengan sabar pujilah nama-Nya dan serahkan dirimu pada kehendak-Nya.

(Dari: Buku Bebaskan Hatimu - 30 Hari Bersama Mahaguru Spiritual Fransiskus dari Sales, editor serial John Kirvan. Penerbit Obor, 2012)

Minggu, 17 Juni 2012

Anjing Kecil

Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di ladang pemiliknya. Ketika ia mendekati kandang kuda, ia mendengar hewan besar itu memanggilnya. "Kamu pasti penghuni baru di sini. Tak lama lagi kamu akan tahu, pemilik ladang ini mencintai saya lebih dari hewan lainnya, sebab saya bisa mengangkut banyak barang. Saya kira, hewan sekecil kamu tidak bernilai sama sekali baginya," kata kuda.

Anjing kecil itu menundukkan kepala dan segera pergi. Saat berjalan, dari kandang sebelah ia mendengar seekor sapi berkata, "Saya adalah hewan paling terhormat di sini, sebab nyonya membuat keju dan mentega dari susu saya. Kamu tentu tidak berguna untuk keluarga di sini."

Satu demi satu hewan di situ ikut serta dalam percakapan. Mereka menceritakan betapa tinggi kedudukan mereka di ladang itu. Ayam mengatakan bagaimana ia telah memberi telur, domba memberi mantel bulu, dan kucing mengenyahkan tikus-tikus dari rumah pemilik ladang. Semua hewan sepakat, anjing kecil tidak bisa memberi apa pun untuk keluarga itu.

Terpukul oleh kecaman hewan-hewan itu, anjing kecil pergi ke tempat sepi dan menangis. Seekor anjing tua mendekati dan mendengarkan cerita anjing kecil. "Memang benar, kamu terlalu kecil untuk menarik pedati, tidak bisa memberi telur, susu, atau bulu. Tetapi, kamu harus menggunakan kemampuan yang diberikan Sang Pencipta untuk membawa kegembiraan," kata anjing tua.

Malam itu, ketika pemilik ladang baru pulang kerja dan tampak lelah, anjing kecil lari menghampirinya. Ia menjilat kaki dan melompat ke pelukan pemiliknya. Mereka lalu berguling-guling di lantai. Pemilik ladang memeluk dan mengelus anjing kecil itu, lalu berkata, "Meskipun saya pulang dalam keadaan lelah, tetapi saya merasa segar bila kamu menyambut saya. Kamu sungguh paling berharga di antara semua hewan di ladang ini." 
... dan yang paling besar di antaranya adalah kasih...
(John Aikin)

(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna jilid ke-1, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)

Jumat, 15 Juni 2012

Hati


Hati adalah konsep kunci kemanusiaan. 
Di dalam hati-lah penyelamatan mulai berfungsi,
serta mengubah pribadi dan dunia.
                                - Bernard Haring, CSsR

(Dari: Buku Hati Kudus Yesus - Kemarin, Hari Ini, Selama-Lamanya, karya Bernard Haring, CSsR. Penerbit Obor, 2002)

Kamis, 14 Juni 2012

Menyenangkan Hati Setiap Orang

Seorang pria dan anak lelakinya yang masih kecil mengemasi barang-barang dalam tas dan memulai perjalanan dua hari dengan keledai mereka. Mereka meletakkan tas di punggung keledai. Anak lelaki itu berjalan di depan menuntun keledai dan ayahnya berjalan di belakang, sambil memukul hewan itu dengan tongkat.

Mereka menjumpai seorang pria duduk di sisi jalan yang bertanya, "Mengapa kalian berdua berjalan kaki? Duduklah di atas keledai. Hewan itu memang digunakan untuk mengangkut manusia dan barang. Ia sangat kuat."

Maka, mereka berdua menunggangi keledai itu. Tetapi polisi menghentikan mereka dan berkata, "Lebih baik salah satu dari kamu turun dari keledai sebelum saya tahan dengan tuduhan menyiksa binatang."

Anak lelaki itu tetap berada di atas keledai, sedangkan ayahnya turun berjalan kaki. Keledai merasa senang karena bebannya berkurang. Ia mempercepat langkahnya, meninggalkan pria itu yang berlari-lari menyusul.

Mereka bertemu dengan seorang wanita tua yang sedang membawa kayu bakar. Ia melihat pria tersebut hampir kehabisan napas dan berteriak kepada anak lelaki itu, "Tidakkah kamu malu pada dirimu sendiri? Kamu yang kuat duduk enak-enak, sedangkan ayahmu yang telah bekerja berat berlarian kehabisan napas. Turunlah dari keledai."

Maka, anak lelaki itu turun dan ayahnya naik. Tak lama berselang, seorang petani berkata kepada pria yang duduk di atas keledai, "Tidakkah kamu malu duduk di sana dan membiarkan anakmu berlarian mengejar keledai? Mengapa kamu tidak berjalan, kamu kan punya kaki yang lebih panjang?"

Apa pun yang mereka lakukan, orang tetap mengritik... Mereka bahkan mencoba menggendong keledai itu, sehingga dianggap sungguh-sungguh bodoh. Akhirnya, mereka membiarkan keledai itu pulang dan mereka membawa tas sendiri sambil meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. (Aesop)

(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna jilid ke-1, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)

Rabu, 13 Juni 2012

Guru Sejati di Dalam Diri

Waktu aku masih kecil, seorang guru bertanya kepadaku, apa yang aku lakukan ketika berlibur di rumah? Dengan malu-malu (takut-takut) aku menjawab, "Aku bersembunyi di balik tirai di sudut kamarku, kemudian aku merenungkan sesuatu."

"Tetapi, apa yang kau renungkan?" tanyanya sambil tertawa. 
"Aku berpikir tentang Tuhan, tentang hidup yang singkat, tentang keabadian. Singkat kata, aku merenung," jawabku.

Kini aku tahu bahwa aku benar-benar terlibat dalam doa-doa mental di bawah bimbingan seorang Guru yang baik. Aku menyadari bahwa "Kerajaan Allah ada di tengah kita," bahwa sang Guru sejati tidak memerlukan buku atau guru untuk mengajar kita.

Sang Mahaguru mengajar bukan dengan suara lantang, bahkan aku tak pernah mendengar Ia berbicara. Aku menyadari bahwa Ia ada di dalam diriku, selalu menuntun dan mengilhami aku. Ketika aku membutuhkanNya, cahaya-cahaya yang hingga kini tak kelihatan, menyinari aku. Kini hal itu terjadi secara teratur, bukan ketika berdoa, namun di sela-sela tugas harianku. 

(Dari: Buku Berpasrah Penuh - 30 Hari Bersama Mahaguru Spiritual Theresia dari Lisieux, editor serial John Kirvan. Penerbit Obor, 2012)

Minggu, 10 Juni 2012

Menghentikan Arus Dunia


Batin yang digerakkan oleh arus dunia tidak mengenal Roh Kebenaran. Ketika arus dunia dalam diri kita berhenti - indra, pikiran, dan emosi yang bergerak terpecah-pecah, Roh Kebenaran datang. 

Roh Kebenaran datang sendiri sebagai berkah di padang gurun kekosongan batin. Ia tidak bisa dikenali atau didekati. Ia sendiri yang mendekati. Ia sendiri yang bisa menunjukkan wajah-Nya, sehingga dapat dilihat tanpa objek yang terlihat. Maka, berlatih melepaskan diri dari dominasi indra, pikiran, dan emosi akan menolong untuk menyentuh tubuh rohani di dalam.

Anda bisa berlatih menghentikan gerak arus dunia kapan saja dan di mana saja. Saat Anda merasa terjebak pada tubuh fisik, pikiran, dan emosi, saat itu yang terbaik bagi Anda untuk berhenti. 

Latihlah kesadaran murni Anda dengan pendarasan kata-kata berikut seirama napas Anda:

Tubuh (mata, telinga, hidung, lidah, tangan, kaki, dst) ini bukan aku
Aku bukan tubuh ini
Aku tidak terjebak pada tubuh ini
Aku hidup tanpa batas
Dalam Roh Kristus Tuhan.

Pikiran (penilaian, pembenaran, pembandingan, dst) ini bukan aku
Aku bukan pikiran ini
Aku tidak terjebak pada pikiran ini
Aku hidup tanpa batas
Dalam Roh Kristus Tuhan.

Perasaan (luka, benci, kacau, damai, gembira, dst) ini bukan aku
Aku bukan perasaan ini
Aku tidak terjebak pada perasaan ini
Aku hidup tanpa batas
Dalam Roh Kristus Tuhan. 

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009) 

Sabtu, 09 Juni 2012

Jejak Kaki Tuhan

Seorang ilmuwan Perancis sedang melakukan perjalanan ke padang pasir dan mengajak beberapa orang Arab sebagai penunjuk jalan. Ketika matahari hampir terbenam, orang-orang Arab itu memaparkan tikar di pasir dan mulai berdoa.


"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya orang Perancis itu.
"Kami sedang berdoa."
"Kepada siapa?"
"Kepada Allah."
"Sudahkah kamu melihat atau menyentuh atau merasakan Dia?"
"Belum."
"Kamu ini aneh."

Keesokan pagi, ilmuwan itu keluar dari tenda dan melihat ke arah sekitarnya. "Ada seekor unta di sini kemarin malam." 
Orang-orang Arab itu memadangnya dan bertanya, "Apakah kamu melihatnya atau menyentuhnya atau merasakannya?"
"Tidak."
"Kalau begitu, kamu seorang ilmuwan yang sungguh aneh."
"Tetapi, kalian 'kan bisa melihat jejak kaki unta di sekitar tenda," kata ilmuwan membela diri.

Matahari sedang terbit dengan segala kebesarannya. Orang-orang Arab itu menunjuk ke arah matahari dan berkata, "Lihat, itulah jejak kaki Allah." (Willi Hoffsuemmer)

(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna jilid ke-1, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)
 

Kamis, 07 Juni 2012

Kecemasan Mencari

Jangan biarkan kecemasan merusak pencarianmu akan Allah. Engkau tahu betul, ketika engkau mencari sesuatu dengan terlalu cemas, engkau dapat saja menemukannya beberapa kali tanpa pernah melihatnya.

Kecemasan dapat menyamar sebagai energi batin sejati, bahkan kecemasan itu membebani pikiran, mengeringkan antusiasme, dan mematikan jiwa.

Kecemasan seakan-akan menggerakkan jiwa kita, namun yang dilakukannya sebenarnya adalah mengerdilkan jiwa. Kecemasan menekan kita hingga tersandung oleh kaki sendiri.  

Kita harus waspada terhadap tipu daya ini, yang membuat kita percaya bahwa kehidupan rohani kita bergantung sepenuhnya dari usaha kita - semakin kita panik, semakin kita cemas dalam pencarian, makin besar kemungkinan kita menemukan Allah.

Biarkan Allah melakukan bagian-Nya. Bersabarlah. Usaha terbaik kita pun tidak membuat kita lebih diberkati Allah. Peran kita adalah bersiap-siap, untuk menerima karunia Allah dengan hati terbuka - dengan hati-hati, rendah hati, dan dalam keheningan.

(Dari: Buku Bebaskan Hatimu - 30 Hari Bersama Mahaguru Spiritual Fransiskus dari Sales, editor serial John Kirvan. Penerbit Obor, 2012) 

Selasa, 05 Juni 2012

Tidak Percaya

Seorang pengusaha kaya memasang pengumuman di seluruh sudut kota. Pengumuman itu berbunyi, jika ada orang di kota itu yang punya hutang, datanglah ke kantor pengusaha tersebut pada hari yang ditentukan antara jam sembilan sampai jam dua belas siang. Pengusaha itu akan membayar seluruh hutang orang tersebut.

Pengumuman itu menjadi bahan pembicaraan hangat di kota. Tetapi, hanya sedikit orang yang memercayai hal itu. Mereka menduga, pasti ada jebakan di baliknya. 

Hari yang ditentukan tiba. Pengusaha duduk di kantornya pada jam sembilan pagi, tetapi tidak ada yang datang. Jam sebelas siang, ada seorang pria berjalan mondar-mandir di depan kantor. Akhirnya ia memberanikan diri masuk. 

"Apakah kamu punya hutang?" tanya si pengusaha. "Tentu," jawab orang itu. "Apakah kamu punya rekening atau surat untuk membuktikannya?" Orang itu mengeluarkan beberapa surat. Pengusaha itu lalu menulis sejumlah uang pada cek untuk membayar hutang tersebut. Sebelum jam dua belas siang ada beberapa orang lain yang datang dan mendapatkan pembayaran hutang mereka. 

Orang-orang di luar tak bisa memercayai hal itu. Tetapi, tidak ada waktu lagi bagi mereka untuk meminta agar si pengusaha membayar hutang mereka. 

Jika orang sudah tidak memercayai kebaikan orang lain, bagaimana mereka bisa percaya akan kebaikan Tuhan? (Tonne)


(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna jilid ke-1, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)

Minggu, 03 Juni 2012

Bunyi yang Punya Arti

Suatu hari, seorang Indian meninggalkan daerah tempat tinggalnya, mengunjungi seorang teman yang berkulit putih di kota. Bunyi ribut mobil-mobil dan derap lalu-lalang orang-orang sangat mengganggu orang Indian itu.

Kedua orang tersebut berjalan bersama. Tiba-tiba orang Indian itu berhenti. "Sebentar. Apakah kamu mendengar suara yang kudengar?" tanyanya. Temannya tersenyum dan berkata, "Yang saya dengar hanya suara klakson mobil dan derap langkah orang. Apa yang kau dengar?" "Ada seekor jangkrik di dekat sini. Saya bisa mendengar suara nyanyiannya," jawab orang Indian itu.

Berjalan ke depan beberapa langkah, orang Indian itu menatap tembok sebuah rumah. Di situ ada tanaman merambat dan di atas salah satu daunnya seekor jangkrik sedang bernyanyi keras sekali. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, teman orang Indian itu berkata, "Secara alami kamu bisa mendengar lebih baik daripada kami."

Orang Indian itu tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Saya tidak setuju dengan pendapatmu. Orang Indian tidak bisa mendengar dengan lebih baik daripada orang kulit putih. Saya akan buktikan."

Orang Indian itu lalu mengambil uang logam dan menjatuhkannya ke trotoar. Bunyi gemerincing uang logam membuat banyak orang di sekitar tempat itu menoleh ke arahnya. Kemudian, orang Indian itu memungut uang logam tersebut dan menyimpannya.

Saat mereka berjalan lagi, orang Indian itu berkata, "Tahukah kamu, sobat, suara uang logam tidak lebih keras daripada suara nyanyian jangkrik. Meski demikian, banyak orang mendengarnya dan menoleh. Alasannya, bukan lantaran orang Indian bisa mendengar lebih baik, tetapi kita selalu mendengar dengan lebih baik pada hal-hal yang biasanya menarik perhatian kita." (Willi Hoffsuemmer)

(Dari: Buku 1500 Cerita Bermakna jilid ke-1, karya Frank Mihalic, SVD. Penerbit Obor, 2009)