Cari Blog Ini

Sabtu, 30 April 2011

Pencitraan Menghalangi Hubungan


Dalam hidup, kita berhubungan dengan pribadi-pribadi. Salah satu faktor yang sangat berperan membentuk karakter hubungan-hubungan itu adalah citra atau gambaran kita tentang diri kita dan tentang orang lain.

Kita memiliki citra tertentu tentang diri kita dan tentang orang lain. Begitu pula sebaliknya. Orang-orang lain memiliki citra tentang diri mereka sendiri dan tentang diri kita. Lalu, kita saling berinteraksi dengan berpijak pada sudut pencitraan masing-masing. Apakah di sini ada hubungan pribadi? Bukankah yang ada ialah hubungan antarcitra yang justru menghalangi kontak pribadi?

Citra yang kita miliki tentang sesuatu tak lain adalah pengalaman masa lampau. Pengalaman itu bisa berupa kesusahan atau kesenangan, kenikmatan atau kesakitan, kesuksesan atau kegagalan. Ketika pengalaman tersebut kita bawa ke masa sekarang sebagai suatu citra, maka kita memandang atau berinteraksi dengan orang lain berdasarkan pengalaman masa lampau. Citra itu jadi membatasi hubungan kita pada masa sekarang.

Setiap hubungan membuat kita tidak merasa aman. Terlebih dalam hubungan yang dijalin berdasarkan citra, selalu ada konflik, kepahitan, dan luka. Maka, kita membangun zona aman dengan memakai topeng-topeng diri. Kita berusaha menampilkan citra diri yang baik, karena kita tidak mau terluka, tidak mau kalah, dan tidak mau kehilangan.

Padahal, ketika kita mencari rasa aman dalam hubungan, maka hubungan yang dijalin telah melenceng dari fungsinya untuk menemukan siapa diri kita, membuka wajah kita yang sesungguhnya. 

Kalau kita hidup dalam keadaan sadar, kita akan mengenali topeng-topeng yang kita pakai, citra diri, dan citra tentang orang lain yang tertanam di benak kita. Setiap hubungan bisa menjadi semacam cermin yang membuka pemahaman siapa diri kita. Terjadi kontak langsung antarpribadi, dan terbuka kemungkinan kesatuan kita dengan yang lain. 

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Jumat, 29 April 2011

Pelajaran dari Udang

Udang memakai kerangka pada bagian luar tubuhnya. Ia menanggalkan kulitnya 26 kali selama hidup. Udang melepaskan kulitnya untuk mengakomodasi pertumbuhan badannya. 

Manusia bisa mengambil pelajaran dari udang. Apakah kita mempunyai kedok yang perlu dibuang? Mungkin ide yang baik untuk memeriksa kehidupan kita dan melepaskan kedok-kedok kita. Sudah saatnya membuang kedok iri hati, kesombongan, kemarahan, ketidakpedulian, egoisme, dan sebagainya. Pribadi yang berkembang akan terus-menerus membuka kedok-kedoknya. (William Arthur Ward)

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Kamis, 28 April 2011

Seandainya Engkau Mengatakannya

Eknath, seorang pria yang tak pernah marah. Ia adalah gambaran kesabaran, selalu tenang dan penuh keyakinan, serta tidak merasa terganggu oleh apa pun.

Ada beberapa orang di kota yang merasa iri kepada Eknath. Mereka ingin sekali membuktikan, ia juga manusia lemah biasa. Mereka kemudian menyewa seseorang dan berjanji akan memberi hadiah uang sangat banyak, kalau orang itu berhasil membuat Eknath marah.

Setiap hari, di pagi buta, Eknath pergi ke sungai untuk berendam, sebelum ia menghabiskan beberapa waktu untuk memuja Allah di pondoknya. Suatu hari, setelah mandi di sungai, di dalam perjalanan pulang, pria yang disewa itu meludah ke muka Eknath. Dengan tenang, Eknath kembali ke sungai dan berendam untuk membersihkan wajahnya. Demikian hal yang sama terjadi sampai 107 kali.

Setelah Eknath selesai berendam ke-108 kali, hati pria sewaan itu sangat tersentuh. Ia menjatuhkan diri di kaki Eknath dan memohon ampun, "Aku telah berbuat dosa besar terhadapmu. Jika aku dapat membuatmu marah, aku akan dihadiahi uang sangat banyak. Maafkanlah aku!"

Eknath tersenyum dan berkata, "Memaafkan atas apa? Hari ini adalah hari paling unik dalam hidupku. Aku telah melakukan 108 kali rendaman di air suci. Seandainya saja engkau mengatakan kepadaku jika aku bisa marah, engkau akan mendapatkan hadiah uang sangat banyak, pasti aku akan berpura-pura marah, supaya engkau bisa mendapatkan hadiah itu."

(Dari: Buku Kumpulan Kisah Bijak - Saat Chung Tzu Kehilangan Istri, karya JP. Vaswani. Penerbit Kanisius, 2006)

Rabu, 27 April 2011

Sungai yang Mistik dan Indah

Dahulu kala ada seorang laki-laki yang bepergian mencari sebuah sungai yang mistik dan indah. Ketika ia menemukan sungai itu, ia duduk di tepinya. Ia minum, mandi, memancing, dan bermain di situ. Ia merasa sangat senang berada dekat sungai itu. Ia tinggal berhari-hari di tepi sungai itu sambil mendengarkan ajaran-ajaran mistiknya. Sebelum meninggalkan sungai itu, ia memotretnya, kemudian pulang.

Ketika tiba di rumah, keluarga, para sahabat, dan orang-orang sekotanya melihat kegembiraan yang terpancar dari orang itu. Mereka melontarkan banyak pertanyaan tentang sungai tersebut dan ingin mengetahui ajaran-ajaran mistik yang telah dipelajarinya di situ.

Lelaki itu berkata, "Kalian harus pergi sendiri ke sana dan mengalaminya sendiri. Kalian harus melihat, mendengar, menyentuh, mengalami, merasakan, dan mencium sungai itu bagi dirimu sendiri. Kata-kata tidak dapat melukiskan keindahan dan misteri yang saya alami dari sungai itu. Pergilah! Alamilah sendiri."

Tetapi, orang-orang itu menemukan gambar sungai yang dipotret lelaki tersebut. Mereka lalu menempatkan gambar sungai dalam bingkai emas, mendirikan bangunan besar, dan menggantungkan gambar itu di dindingnya, sehingga mereka bisa datang dan menatapnya berjam-jam.

Ketika melihat apa yang terjadi, lelaki itu sedih. Ia menyesal. Alangkah baiknya kalau ia tidak pernah mengambil gambar sungai yang mistik dan indah itu. (Kenneth J. Wilters)

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Selasa, 26 April 2011

Rumusan Kata-Kata

"Apa yang kau cari?" tanya Sang Guru kepada seorang ilmuwan yang datang minta bimbingan. 

"Hidup," jawabnya. 

Kata Sang Guru, "Jika hidup yang engkau inginkan, kata-kata harus mati."

Ketika ditanya lagi apa yang dimaksud, Sang Guru menjawab, "Engkau hilang lenyap karena tinggal di dalam dunia kata-kata. Engkau makan kata-kata, engkau puas dengan kata-kata, sedangkan yang engkau butuhkan adalah isi. Daftar menu makanan tidak akan mengenyangkan laparmu. Rumusan kata-kata tidak akan memuaskan dahagamu." 

(Dari: Buku Sejenak Bijak, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1987)

Senin, 25 April 2011

Aku Berbeda

Dari dulu aku berbeda. 
Atau, apakah hanya pikiranku sendiri bahwa aku tidak cocok?
Tidak jadi soal lagi sekarang, sebab aku tahu aku memang berbeda 
dan aku senang karenanya.

Kutemukan dunia yang sama sekali baru, 
penuh dengan mereka yang mengerti,
dan pernah mengalami apa yang aku alami.

Bebanku pun terangkat. 
Sekarang, aku berbeda lagi.

Aku sendirian di antara teman-teman.

Aku tak bertujuan tetapi yakin.

Aku terlepas tetapi sadar.

Aku hanya ada di saat sekarang.

Pencerahan adalah keutuhan. 

(Dari: Buku Tao Pemulihan, karya Jim McGregor. Penerbit: Lucky Publishers, 2003)

Minggu, 24 April 2011

Mati dan Hidup dalam Sekejap

Orang takut mati karena gambaran akan diceraikan dari tubuh dan dari kehidupan yang dilekatinya. Saat kematian tiba, tubuh menjadi kaku, dingin, busuk, rusak, tercerai-berai, dan musnah. Seluruh hubungan terputus: hubungan dengan tubuh, barang-barang, uang, orang-orang yang dicintai, cita-cita, kesenangan, kenikmatan, gagasan, kesedihan, kebencian, dan sebagainya.

Karena takut terhadap kematian, kita menempatkan kematian jauh dari kehidupan yang kita lekati. Berbicara tentang kematian seolah belum relevan selagi kita masih hidup. Kita menerima begitu saja kehidupan ini dan menolak datangnya kematian.

Kematian akan datang pada waktunya. Masalahnya bukan kapan dan dengan cara apa kita akan mati, melainkan apakah kita sungguh-sungguh berani menghadapi kehidupan tanpa melekat padanya? Kelekatan terhadap kehidupan membuat kita takut akan kematian.

Sebenarnya, menghayati kematian sekaligus kehidupan setiap saat adalah sesuatu yang mungkin. Tidak ada yang absurd untuk mati total dalam sekejap dan membiarkan kehidupan yang maha luas terlahir juga dalam sekejap. 

Caranya, lepaskan diri dari segala sesuatu yang melekat dalam batin, daya upaya untuk mengejar sesuatu. Berhentinya pikiran dan keinginan akan membuat kita masuk ke alam di luar waktu. Dalam kondisi seperti itulah, diri dapat berakhir dan Allah mungkin terlahir.  

Maka, tidak ada jalan yang lebih otentik daripada jalan paradoks: kepenuhan hidup terlahir dalam kematian diri yang total. 

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Sabtu, 23 April 2011

Seorang Filsuf - Tentang Keajaiban dan Keindahan

Ketika Ia berada di antara kami, Ia memandang kami dan dunia ini dengan pandangan kagum, karena Mata-Nya tidak tertutup oleh selubung waktu. Semua ini tampak cerah dalam kebahagiaan masa muda-Nya.

Meskipun Ia mengetahui makna keindahan, Ia selalu terpesona oleh kedamaian dan keagungannya. Dan Ia menghadapi dunia ini seperti manusia pertama yang berdiri menghadapi hari awal.

(Sementara) kami menatap dalam cahaya di siang bolong namun kami tidak melihat, sebab indra kami telah ditumpulkan. Kami memasang telinga namun tidak mampu mendengar, mengulurkan tangan tetapi tidak dapat menyentuh. Dan sekalipun orang membakar seluruh kemenyan di tanah Arab, kami tetap berjalan tanpa menciumnya.

Sesungguhnya kita melihat tetapi tidak merenungkan, kita mendengar tetapi tidak memahami. Kita makan dan minum tetapi tidak mengecap kelezatannya. Dan di sinilah terletak perbedaan antara Yesus dengan kita.

Indra-Nya selalu membaru, dan dunia pun selalu ditangkap-Nya sebagai dunia yang baru. Bagi-Nya kegaduhan kanak-kanak adalah pekikan seluruh umat manusia, padahal bagi kita hanyalah ocehan belaka.

Ia melihat akar bunga di padang sebagai suatu kerinduan akan Tuhan, sedangkan kita hanya melihat akar yang menjalar.

(Dari: Buku Yesus Sang Anak Manusia, karya Kahlil Gibran. Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 1999)

Yang Ada di Dalam Diri

Apa yang berada di depan Anda maupun apa yang berada di belakang Anda tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan apa yang berada di dalam diri Anda.

                                                                       - Mahatma Gandhi

(Dari: Buku Untaian 1000 Kata Bijak, karya Dr. Rm. Sudi Yatmana. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2007)

Rabu, 20 April 2011

Apa yang Memakan Anda?

Teluk Naptes di Italia adalah habitat dari seekor ubur-ubur yang dinamakan medusa dan keong dari jenis nudibranch. Ketika keong masih kecil, ubur-ubur itu menelannya. Tetapi, sang keong dilindungi kulitnya dan tidak bisa dicerna. 

Keong itu lalu mengikat dirinya pada bagian dalam ubur-ubur, perlahan-lahan ia mulai memakani ubur-ubur. Ketika keong bertumbuh jadi besar, ia telah memakan habis ubur-ubur itu. Jikalau ini suatu kejahatan, maka dinamakan "pencurian oleh orang dalam."

Banyak dari kita seperti ubur-ubur. Kita mempunyai keong yang memakan kita dari dalam. Keong kita mungkin alkohol, kemarahan, kegelisahan, depresi, kerakusan, dan lainnya. Perlahan hal-hal itu berkembang dan akhirnya kita dimakan habis dari dalam. 

Apakah yang memakan Anda? (Lewis Thomas)

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Selasa, 19 April 2011

Kata-Kata

Para murid tenggelam dalam pembicaraan tentang ucapan Lao Tze: 

"Yang mengerti, tidak mengatakannya. Yang mengatakan, tidak mengertinya."

Ketika Sang Guru masuk, mereka bertanya, apa sesungguhnya arti kata-kata itu?

Kata Sang Guru, "Siapa dari kamu yang mengerti harumnya mawar?"

Mereka semua mengerti.

Lalu ia berkata lagi, "Uraikan harumnya mawar dengan kata-kata."

Mereka semua diam.

(Dari: Buku Sejenak Bijak, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1987)

Senin, 18 April 2011

Kabar Baik Selamanya

Kabar baiknya, kabar buruk bisa diubah menjadi kabar baik...
hanya bila kita mengubah perilaku kita!
Kita dapat bersedih karena mawar memiliki duri...
atau kita dapat bersuka cita karena duri-duri itu
memiliki mawar yang indah.

Kabar baik selamanya adalah bahwa 
kegembiraan dan kesedihan ditentukan oleh perilaku kita...
dan perilaku kita diputuskan oleh kita sendiri.

(Dari: Buku A Pearl of Awareness - Rahasia Membuka Pintu Kesadaran Anda, karya Vikas Malkani. Penerbit Bhuana Ilmu Populer, 2005)

Minggu, 17 April 2011

Saat Pikiran Tak Terpakai

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat dualitas subjek dan objek. Dualitas ini tercipta ketika pikiran bergerak. Sebenarnya, tidak ada subjek kalau pikiran tidak bergerak. Yang ada hanya objek-objek, tanpa subjek sama sekali, tanpa si pengamat, tanpa si pemikir, tanpa “si aku.”

Di dalam keheningan meditasi, tampaklah bahwa subjek, ke“aku”an, atau “si aku” hanyalah ilusi. Si pemikir atau si pengamat tak lain adalah pikiran, dan pikiran terus bergerak tanpa subjek yang  menggerakkannya.

Adanya pengamatan total atau kesadaran terus-menerus akan gerak batin menyebabkan ke“aku”an atau subjek padam dengan sendirinya. Ke“aku”an atau “si aku” dapat  muncul kembali saat pikiran bergerak.

Ketika subjek yang berpikir menghilang, objek pikiran juga lenyap. Tidak ada lagi subjek dan objek. Kesadaran pasif muncul dengan sendirinya, ketika kesadaran aktif berhenti. 

Saat pikiran tak terpakai, segala sesuatu hadir seutuhnya, murni seperti apa adanya. Kita memperoleh pemahaman baru tentang hakikat diri yang sesungguhnya. Ini bukan hasil olah pikiran, juga bukan akumulasi pengalaman, melainkan terjadi di luar lingkup apa yang dikenal.

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Tanpa Pemikiran

Dengan pemikiranku sendiri, aku tahu siapa benar dan siapa salah.
Aku tahu, siapa baik dan siapa jahat. 
Aku tidak mengasihi mereka yang kuanggap jahat.
Malah, terkadang aku membenci mereka.

Apakah itu salah? Mana aku tahu.
Sekarang aku tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Apa yang membuatku berubah?

Pertama, kesadaran bahwa aku telah sepenuhnya membalikkan keyakinanku di masa lalu. Kedua, hal-hal yang dulu kuanggap harus kumiliki, ternyata tidak memuaskan. Begitulah kalau mengandalkan pemikiran sendiri.

Sekarang, aku memilih Tanpa Pemikiran - sikap menerima tanpa ego, yang disertai kedamaian dan ketenteraman.

(Dari: Buku Tao Pemulihan, karya Jim McGregor. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Sabtu, 16 April 2011

Anda adalah Yang Anda Pikirkan

Shu Tong Poo adalah seorang penyair di zaman Dinasti Sung. Ia sangat senang mempelajari ajaran Buddha. Ia juga selalu bermeditasi bersama temannya, Fou Yin, seorang guru Zen.

Suatu hari, sehabis bermeditasi, terjadi dialog berikut:

Tong Poo: Guru, coba Anda lihat sekarang, penampilan saya seperti apa?

Fou Yin: Penampilanmu ketika duduk serius seperti seorang Buddha. Kalau menurut Anda, bagaimana penampilan saya?

Tong Poo: Seperti sekumpulan kotoran.

Guru Zen itu tidak marah dan tidak berkata apa pun kepada Tong Poo. 
Tong Poo sangat bangga dan sombong. Ia merasa telah mengalahkan Guru Zen yang hebat. Setiap bertemu dengan siapa pun, ia selalu menceritakan hal itu. 

Cerita ini didengar adik perempuan Tong Poo, Shu Siau Mei, yang juga seorang penyair terkenal waktu itu. "Kak, kamu sudah kalah. Dalam hati Guru Zen adalah Buddha, maka ia melihatmu seperti seorang Buddha. Tetapi, dalam hatimu penuh kotoran, maka kamu melihatnya seperti kotoran!" ujar Siau Mei. 

Kita adalah apa yang kita pikirkan. Kalau kita berpikiran negatif, semua menjadi negatif. Sebaliknya, kalau kita berpikiran positif, maka dunia sekeliling kita akan terasa lebih hebat. Semua yang terjadi dalam hidup kita akan menjadi pengalaman yang luar biasa. 

(Dari: Buku Kisah Zen dalam Komik untuk Mencapai Pencerahan Hidup, karya Ponijan Liaw dan Andrew Ho. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2008) 

Jumat, 15 April 2011

Taman Pikiran

James Allen, dalam bukunya As a Man Thinketh menulis, "Pikiran manusia seperti taman yang dapat dirawat dengan rajin atau dibiarkan tidak terawat. Tetapi, dirawat atau tidak, taman tetap akan memberi hasil."

Allen melanjutkan, "Sama seperti tukang taman menanami tamannya, mencegah tumbuhnya rumput liar, serta menumbuhkan bunga-bunga dan buah-buahan; demikian pula orang dengan taman pikirannya. Orang yang merawat taman pikirannya akan membuang semua pikiran yang salah, yang tidak berguna dan kotor; kemudian menanam bunga-bunga dan buah-buah pikiran yang benar, berguna, dan murni.

Dengan mengikuti proses ini, cepat atau lambat orang menyadari bahwa ia adalah tuan atas taman jiwanya, pemimpin atas kehidupannya. 

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-5, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Apa yang Berubah?

Kepada murid yang mengeluh karena keterbatasannya, Sang Guru berkata, "Engkau memang terbatas. Tetapi, apakah kau perhatikan, sekarang engkau melakukan hal-hal yang lima belas tahun lalu kau tidak mengira bakal mungkin dilakukan? Apa yang berubah?"

"Bakatku yang berubah."

"Bukan. Engkau yang berubah."

"Apa itu tidak sama?"

"Tidak. Engkau itu nyatanya seperti pikiranmu. Jika pikiranmu berubah, engkau berubah."

(Dari: Buku Sejenak Bijak, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1987)

Kamis, 14 April 2011

Pikiran

Pikiran kita licin bagaikan belut, cerdik bagaikan ular.
Ia mudah membawa kita berlari dari fakta kehidupan.
Kesedihan, luka, kenikmatan, kepahitan bukanlah masalah, melainkan fakta kehidupan yang kita kenal. 

Namun, gerak pikiran mendorong kita menolak atau menerima, melekat atau lari dari fakta kehidupan itu. 
Maka, fakta kehidupan berubah menjadi masalah.

Setiap gerak pikiran adalah bagian dari keakuan atau diri. Itulah akar masalah. Kalau keakuan atau diri berakhir, masalah juga akan berakhir dengan sendirinya. 
                                             - J. Sudrijanta, S.J.

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Barang di Dalam Tas

A: Tadi pagi saat aku membuka tas kerja suamiku untuk memasukkan bekal makanan, aku menemukan satu dus kondom.

B: Selain barang itu, apa lagi yang kau temukan di dalam tasnya? 

A: Barang-barang lain seperti beberapa lembar kertas, buku agenda, pen, kotak kacamata… 

B: Mengapa hanya satu barang itu yang membuat hatimu gusar? Apa yang ada di benakmu? 

Semua objek di luar kita adalah netral, sampai kita membebani objek-objek itu dengan kenangan, prasangka, penilaian, dan sebagainya - yang berasal dari pikiran kita. Saatnya kita memandang objek, tanpa memberikan beban terhadapnya. 

Rabu, 13 April 2011

Rahib dan Wanita

Dua rahib Buddha dalam perjalanan pulang ke biara, bertemu dengan seorang wanita sangat cantik di tepi sungai. Seperti mereka, wanita itu pun ingin menyeberangi sungai. Sayang, airnya terlalu tinggi. Maka, salah seorang rahib menggendongnya sampai di seberang. 

Rahib yang satunya sungguh-sungguh merasa mendapat batu sandungan. Selama dua jam ia mencaci-maki temannya, karena lengah mematuhi Peraturan Suci: apakah ia lupa bahwa ia seorang rahib? Bagaimana ia sampai berani menyentuh seorang wanita? Dan lebih lagi, apa kata orang nanti? Dan seterusnya.

Rahib yang bersalah itu mendengarkan dengan sabar khotbah yang tak ada habis-habisnya. Akhirnya, ia menyela, "Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai. Apakah engkau masih tetap membawanya?" 

(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)

Selasa, 12 April 2011

Seperti Lumpur dalam Gelas

Saat kita duduk dan bermeditasi, kita berhenti dan mengizinkan pikiran menjadi tenang dan cerah. 

Hal itu seperti lumpur yang mengendap di dalam air. Jika Anda memasukkan lumpur ke dalam gelas, lalu Anda mengaduk air di dalam gelas itu, lumpur tidak punya kesempatan untuk mengendap. 

Namun, jika Anda mendiamkannya, lumpur itu perlahan-lahan akan mengendap ke dasar dan airnya menjadi jernih. Hal yang sama juga berlaku pada pikiran Anda. 

(Dari: Buku Di Bawah Pohon Jambu Air, karya Thich Nhat Hanh. Penerbit Yayasan Karaniya, 2008)

Senin, 11 April 2011

Gerak Pikiran adalah Akar Masalah

Kita terbiasa menggunakan pikiran saat menghadapi masalah. Ketika masalah datang, kita menganalisis, membandingkan, mencari penyebabnya, menilai, dan menarik kesimpulan.Nyatanya, jawaban intelektual terhadap masalah tidak menyelesaikan masalah. 

Meskipun kita memiliki kecanggihan intelektual, tak ada hari tanpa masalah. Hidup sehari-hari menjadi kisah perjuangan yang melelahkan dan tak bermakna, kecuali hanya untuk bertahan hidup. Orang suka menghafal dan mengingat teori-teori tertentu, nasihat-nasihat bijak, teks-teks suci, atau rumus-rumus doa tertentu. Namun, semua itu tidak membuat orang bebas dari masalah.

Masalah muncul karena adanya gerak pikiran. Pikiran sebaik apa pun tidak akan membebaskan diri dari masalah, karena gerak pikiran yang tak lain dari diri adalah akar segala masalah. Dalam gerak pikiran, ada ketakutan terhadap fakta kehidupan, keserakahan, pengejaran, keakuan, harapan, keinginan, ambisi, pelarian, dan seterusnya. 

Upaya apa pun untuk keluar dari masalah, malah menimbulkan masalah baru. Maka, daripada mencari solusi masalah, lebih bermakna memahami masalah seperti apa adanya. Untuk itu, kita perlu mengenal diri, karena diri yang menjadi akar segala masalah. Kalau diri lenyap, masalah juga akan berakhir dengan sendirinya.

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit: Kanisius, 2009)

Minggu, 10 April 2011

Menyeberang Dengan Selamat

Seorang pria bersama istrinya pergi mengunjungi teman mereka yang rumahnya terletak beberapa mil jauhnya. Dalam perjalanan menuju ke sana, mereka ingat harus menyeberangi jembatan yang sangat tua dan rapuh. Sang istri mulai cemas.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya. "Aku tidak berani menyeberangi jembatan itu. Lagi pula, tidak ada satu pun perahu yang dapat menyeberangkan kita melewati sungai itu."

"Aku tidak pernah memikirkan jembatan itu. Andai jembatan itu ambrol ketika kita sedang berjalan di atasnya, kita pasti tenggelam," kata sang suami.

"Atau bayangkan," sahut istrinya, "engkau menginjak papan yang lapuk, kakimu terperosok dan patah. Siapa yang akan merawat aku dan anak-anak?"

"Aku tidak tahu," jawab suaminya, "mungkin keluarga kita akan mati kelaparan."

Demikianlah yang terjadi sepanjang perjalanan mereka. Pasangan suami-istri itu terus dilanda kecemasan, membayangkan semua kemungkinan terburuk yang mungkin mereka alami, sampai mereka tiba di jembatan itu dan menemukan jembatan baru telah dibangun. Mereka melintasi jembatan itu dengan selamat.

Menurut Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat ke-3 dan penulis Deklarasi Kemerdekaan negara itu, otak kita terlalu banyak digerogoti oleh pikiran-pikiran negatif yang sebetulnya tidak akan pernah terjadi.

(Dari: Buku Kumpulan Kisah Bijak - Saat Chung Tzu Kehilangan Istri, karya J.P. Vaswani. Penerbit Kanisius, 2006)

Sabtu, 09 April 2011

The Still

Ketika bencana menerpa sebuah kapal Angkatan Laut Inggris, sinyal yang dinamakan "The Still" berbunyi. Sinyal ini berarti, "Hentikan apa yang sedang kamu kerjakan! Beristirahatlah! Periksalah keadaanmu dan bersiaplah melakukan sesuatu yang bijaksana."

Sebelum sinyal itu berbunyi, hanya beberapa awak kapal yang mengetahui hal bijaksana yang harus dilakukan. Mereka menyadarinya dalam ketenangan.

Dalam kehidupan kita, setiap hari sering kali kita juga menghadapi suatu situasi darurat. Dalam situasi itu kita sendiri pun tidak tahu apa yang harus segera dilakukan. Kita berteriak, "Apa yang bisa dilakukan?" Sebenarnya, hal paling baik yang bisa kita lakukan adalah diam dan tenang.

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002) 

Jumat, 08 April 2011

Baik Hati


Seorang pemilik warung datang menghadap Guru dengan rasa cemas. Di seberang jalan yang berhadapan dengan warungnya, orang membuka toko serba ada besar, yang akan mematikan usahanya. Keluarganya sudah membuka warung itu seratus tahun dan terancam gulung tikar.

Guru: Jikalau engkau takut akan pemilik toko serba ada itu, engkau akan membencinya. Benci itu berarti gulung tikar bagimu.

Pemilik warung: Lalu, aku harus bagaimana?

Guru: Setiap pagi, keluarlah dari warungmu dan berdirilah di pinggir jalan memberkati warungmu agar maju sejahtera. Lalu berpaling ke toko serba ada dan memberkatinya juga.

Pemilik warung: Apa? Memberkati sainganku yang menghancurkan aku?

Guru: Setiap berkat yang kauberikan akan berbalik menjadi kebaikanmu. Setiap puji jahat (cercaan-red) akan menghancurkan dirimu."

Setelah enam bulan, pemilik warung datang kembali ke Guru. Ia melaporkan, ia memang harus menutup warungnya seperti yang ditakutkannya, tetapi sekarang ia bekerja di toko serba ada itu dan penghasilannya jauh lebih baik dari sebelumnya.

(Dari: Buku Sejenak Bijak, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1987)

Kamis, 07 April 2011

Bumerang

Seorang anak lelaki tidak mengerti apa yang dimaksud dengan gema berteriak di suatu lembah. “Siapa di sana?”
Gema suara itu terpantul kembali, “Siapa di sana?”

Anak itu tidak dapat melihat siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut. Ia kemudian bertanya, “Siapakah Anda?” Suara serupa berbalik, “Siapakah Anda?”

Ia kemudian berpikir, ada seseorang yang sedang mengerjainya. Maka, ia berteriak, “Bisa gak berhenti mengerjaiku?” Gema suara terpantul kembali, “Bisa gak berhenti mengerjaiku?”

Karena jengkel dan marah, anak kecil itu memaki. Kalimat-kalimat yang sama terpantul kembali ke dirinya. Ibunya lalu menjelaskan, tidak ada orang yang sedang mengerjainya. Apa yang ia dengar adalah gema suaranya sendiri yang kembali kepadanya.

Anak kecil itu lalu berteriak, “Aku mencintaimu!” Terdengar gema suara, “Aku mencintaimu!” Anak kecil itu berteriak lagi, “Engkau sangat baik!” Pujian itu kembali kepadanya, dan ia menjadi bahagia.

Apa yang kita berikan kepada dunia akan kembali kepada kita.

(Dari: Buku Kumpulan Kisah Bijak - Saat Chung Tzu Kehilangan Istri, karya J.P. Vaswani. Penerbit Kanisius, 2006)

Rabu, 06 April 2011

Kepasrahan


Sering kali kepasrahan dipandang sebagai bentuk kekalahan, kelemahan, atau sikap negatif. Padahal, sesungguhnya tidak ada kemenangan, kekuatan, atau sikap positif tanpa kepasrahan. Ketidakmampuan berpasrah atau berserah diri justru merupakan tanda kelemahan dan ketidaktahuan.

Kepasrahan adalah kerelaan untuk melepaskan pola pertahanan diri dan mengambil sikap lentur terhadap Arus Kehidupan. Pertahanan diri muncul ketika pikiran atau ego didaulat sebagai penggerak utama roda kehidupan. Cara hidup seperti ini cenderung menerima apa yang disukai dan menolak apa yang tidak disukai. Kehidupan bergerak para arus dualitas suka dan tidak suka. Ketika pikiran atau ego tidak bisa diandalkan, barulah orang mencoba melepaskan pertahanan diri dan mulai berserah.

Batin yang mampu berserah tidak menerima apa yang disukai dan tidak menolak apa yang tidak disukai. Orang yang bebas dari pertahanan diri akan mampu hidup seperti arus sungai. Ia mempunyai kelenturan untuk tidak menolak Arus Kehidupan atau mengikuti Arus Kehidupan yang lebih dalam di luar arus dualitas suka dan tidak suka.

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)